Menggali Ajaran Kebijaksanaan dalam Chadō Langsung ke konten utama

Unggulan

The Joy Luck Club

Dok. Pribadi Belakangan ini, saya lagi keranjingan membaca karya-karya Amy Tan . Rasanya ada sesuatu yang begitu kuat dalam cara dia bercerita, terutama tentang hubungan keluarga dan budaya. Jadi, ketika tahu kalau novel pertamanya, The Joy Luck Club (1989), jadi finalis untuk berbagai penghargaan bergengsi seperti National Book Award dan National Book Critics Circle Award, saya langsung penasaran ingin membacanya. Novel ini mengisahkan kehidupan empat ibu imigran Tionghoa-Amerika yang tinggal di San Francisco dan membentuk kelompok bermain mahjong bernama The Joy Luck Club . Lewat kelompok ini, cerita hidup mereka—dan anak-anak perempuan mereka yang lahir dan dibesarkan di Amerika—mulai terungkap. Kisah dibuka dengan meninggalnya Suyuan Woo, salah satu anggota kelompok mahjong. Anaknya, Jing-mei Woo, harus menggantikan posisi ibunya dalam kelompok. Tapi ada satu kebenaran mengejutkan yang terungkap di tengah cerita: Suyuan ternyata memiliki dua anak lain dari pernikahan sebelumnya ya...

Menggali Ajaran Kebijaksanaan dalam Chadō

Siapa di sini yang suka minum teh? Di Indonesia, teh seringkali dinikmati saat menjamu tamu atau sebagai penghilang dahaga sehabis makan. Di warung nasi, pengunjung biasanya menikmati teh kental, pahit, tanpa pemanis, dan dicampur dengan bahan tertentu seperti melati atau vanila.

Dok. Pribadi

Di Jepang, teh mendapatkan perhatian yang khusus. Untuk meminumnya saja ada serangkaian upacara yang mengiringinya, atau biasa disebut chadō. Rangkaian upacara ini bersifat rigid, artinya sejumlah aturan yang harus dipenuhi. Misal, tamu harus memakai baju kimono, di dalam ruangan harus ada hiasan dinding (kaligrafi tulisan kanji) dan bunga, teh harus disajikan tanpa terburu-buru, dan lainnya.

Segala 'keribetan' itu bukan tidak ada maksud, malah ada makna yang relevan dengan zaman modern. Itulah yang dibahas di buku Menggali Ajaran Kebijaksanaan dalam Chadō dari Syaraf Maulini. Misalnya, pakaian kimono yang membatasi ruang gerak pemakainya, mengartikan bahwa kita hidup dalam bermasyarakat yang memiliki sejumlah aturan yang harus ditaati.

Selain itu, dalam upacara teh, tamu harus memberi komentar pada hiasan dinding atau cangkir yang dilukis dengan bagus, serta memberi apresiasi makanan dan minumannya. Ini berarti pengunjung diajak untuk menikmati saat ini (mindfulness) dan diajak untuk menikmati seni. Hal lainnya adalah upacara teh diadakan di dalam ruangan dengan pintu yang rendah di mana tamu harus merangkak atau menunduk saat masuk. Artinya, apapun jabatan tamu tersebut, ia harus 'menundukkan dirinya' atau rendah hati.

Sebagai penikmat teh, saya suka dengan buku ini. Saya jadi lebih bisa menghayati setiap proses penyeduhan teh. Saya juga jadi bisa merasakan proses penyeduhan tersebut bukan hanya untuk menghasilkan citra rasa teh yang terbaik saja, tetapi juga menjadi jeda dari rutinitas keseharian.  

Selain itu, penulisnya, Syaraf Maulini atau Syarif, juga menuliskannya dengan bahasa yang sederhana sehingga mudah dicerna oleh pembaca awam. Agar relevan dengan pembaca, ia bisa mengkorelasikan makna pada upacara ngeteh dengan kehidupan kita. Tak hanya maknanya saja, Syarif juga menulis tentang sejarah teh, tokoh-tokoh ternama di dunia teh, dan rundown upacara teh.

Saya merekomendasikan buku ini buat teman-teman yang ingin tahu tentang dunia teh, dan pastinya pelajaran yang bisa kita petik dari upacara minum teh ini.

Komentar

  1. Blog yang menarik...buku yang bisa dijadikan referensi utk dibaca saat waktu luang

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer