Menggali Ajaran Kebijaksanaan dalam Chadō Langsung ke konten utama

Unggulan

Dawuk

Dari sekian banyak buku yang saya baca di pertengahan tahun ini, akhirnya ketemu juga yang seru dan bikin saya jatuh hati! Judulnya Dawuk karya Mahfud Ikhwan. Ceritanya berawal dari sosok Warto Kemplung yang, di sebuah warung kopi, berkisah tentang Mat Dawuk—seorang “buangan” berwajah buruk rupa yang menikahi Inayah, wanita cantik tapi bengal. Pernikahan mereka justru berujung pada tragedi ketika Inayah sedang mengandung. Karena saya ingin kalian membacanya sendiri, segitu dulu ya bocoran ceritanya. Hehe. Latar kisah ini adalah desa fiktif bernama Rumbuk Randu . Waktunya berada di era 70–80-an. Nuansanya terasa sangat “Indonesia” dengan bumbu cerita pendekar yang punya kekuatan mistis—mulai dari bisa menghilang hingga tetap hidup meski dikeroyok. Saya kagum dengan kemahiran Mahfud bercerita dari berbagai sudut pandang—Warto Kemplung, seorang jurnalis, hingga warga desa—dengan perpindahan yang mulus dan tidak membingungkan. Kosakatanya juga kaya sekali, sampai saya sering menemukan kat...

Menggali Ajaran Kebijaksanaan dalam Chadō

Siapa di sini yang suka minum teh? Di Indonesia, teh seringkali dinikmati saat menjamu tamu atau sebagai penghilang dahaga sehabis makan. Di warung nasi, pengunjung biasanya menikmati teh kental, pahit, tanpa pemanis, dan dicampur dengan bahan tertentu seperti melati atau vanila.

Dok. Pribadi

Di Jepang, teh mendapatkan perhatian yang khusus. Untuk meminumnya saja ada serangkaian upacara yang mengiringinya, atau biasa disebut chadō. Rangkaian upacara ini bersifat rigid, artinya sejumlah aturan yang harus dipenuhi. Misal, tamu harus memakai baju kimono, di dalam ruangan harus ada hiasan dinding (kaligrafi tulisan kanji) dan bunga, teh harus disajikan tanpa terburu-buru, dan lainnya.

Segala 'keribetan' itu bukan tidak ada maksud, malah ada makna yang relevan dengan zaman modern. Itulah yang dibahas di buku Menggali Ajaran Kebijaksanaan dalam Chadō dari Syaraf Maulini. Misalnya, pakaian kimono yang membatasi ruang gerak pemakainya, mengartikan bahwa kita hidup dalam bermasyarakat yang memiliki sejumlah aturan yang harus ditaati.

Selain itu, dalam upacara teh, tamu harus memberi komentar pada hiasan dinding atau cangkir yang dilukis dengan bagus, serta memberi apresiasi makanan dan minumannya. Ini berarti pengunjung diajak untuk menikmati saat ini (mindfulness) dan diajak untuk menikmati seni. Hal lainnya adalah upacara teh diadakan di dalam ruangan dengan pintu yang rendah di mana tamu harus merangkak atau menunduk saat masuk. Artinya, apapun jabatan tamu tersebut, ia harus 'menundukkan dirinya' atau rendah hati.

Sebagai penikmat teh, saya suka dengan buku ini. Saya jadi lebih bisa menghayati setiap proses penyeduhan teh. Saya juga jadi bisa merasakan proses penyeduhan tersebut bukan hanya untuk menghasilkan citra rasa teh yang terbaik saja, tetapi juga menjadi jeda dari rutinitas keseharian.  

Selain itu, penulisnya, Syaraf Maulini atau Syarif, juga menuliskannya dengan bahasa yang sederhana sehingga mudah dicerna oleh pembaca awam. Agar relevan dengan pembaca, ia bisa mengkorelasikan makna pada upacara ngeteh dengan kehidupan kita. Tak hanya maknanya saja, Syarif juga menulis tentang sejarah teh, tokoh-tokoh ternama di dunia teh, dan rundown upacara teh.

Saya merekomendasikan buku ini buat teman-teman yang ingin tahu tentang dunia teh, dan pastinya pelajaran yang bisa kita petik dari upacara minum teh ini.

Komentar

  1. Blog yang menarik...buku yang bisa dijadikan referensi utk dibaca saat waktu luang

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer