The Namesake Langsung ke konten utama

Unggulan

The Vegetarian

Kalau lagi nyari buku asing, biasanya tolok ukur saya simpel: lihat dulu apakah penulisnya pernah menang penghargaan bergengsi. Selain karena saya ingin belajar cara menulis novel yang berkualitas, saya juga belum menemukan penulis favorit dari luar yang bisa bikin jatuh cinta seperti beberapa novelis Indonesia. Nah, ketika tahu bahwa The Vegetarian karya Han Kang memenangkan Nobel Prize 2024 , saya langsung penasaran. Seperti apa sih ceritanya sampai bisa menang penghargaan sebesar itu? Tentang bukunya Secara garis besar, The Vegetarian bercerita tentang Yeong-hye, seorang ibu rumah tangga sekaligus seniman paruh waktu yang tiba-tiba memutuskan berhenti makan daging setelah mengalami serangkaian mimpi buruk. Keputusan ini ternyata nggak sesederhana yang dibayangkan. Perlahan, hidup Yeong-hye berubah drastis:  hubungan keluarga berantakan dan kesehatan mental terguncang. Novel ini dibagi menjadi tiga bagian, masing-masing diceritakan dari sudut pandang orang terdekat Yeong-hye: Bag...

The Namesake



Nama Jhumpa Lahiri sudah lama akrab di telinga teman-teman penulis saya. Karena penasaran dengan reputasinya, saya pun memutuskan membaca salah satu karyanya. Setelah mencari tahu apa saja karyanya, pilihan saya jatuh pada The Namesake, yang dalam versi terjemahan Indonesia diberi judul Makna Sebuah Nama.

Saya membeli bukunya secara daring dalam kondisi bekas. Meski begitu, bukunya masih original dan terawat dengan baik.

Sekilas cerita

Novel ini mengisahkan kehidupan sepasang suami istri asal India, Ashoke dan Ashima Ganguli, yang pindah ke Amerika untuk membangun kehidupan baru. Ashoke adalah seorang dosen universitas yang gemar membaca buku. Kecintaannya pada sastra membuatnya memberi nama anak laki-lakinya Gogol, terinspirasi dari nama penulis Rusia, Nikolai Gogol.

Nama ini memiliki makna yang lebih dalam. Ashoke pernah mengalami kecelakaan kereta api yang nyaris merenggut nyawanya. Dalam keadaan terjepit di antara puing-puing, ia melambaikan lembaran buku karya Gogol agar bisa terlihat oleh tim penyelamat. Buku itu, secara harfiah, menyelamatkan hidupnya.

Padahal dalam budaya keluarga mereka, nama anak seharusnya diberikan oleh nenek. Mereka sempat mengirim surat untuk meminta nama kepada sang nenek, tapi tak pernah dibalas. Rupanya, sang nenek sudah pikun dan tak lagi mampu memberi nama. Karena belum ada nama, akhirnya nama Gogol yang diberikan kepada anak pertama Ashoke dan Ashima.

Saat di taman kanak-kanak, orang tua mereka memberikan nama resmi untuk Gogol, yaitu Nikhil. Karena asing, anak itu minta ke gurunya agar dipanggil sebagai Gogol saja.

Namun, beranjak dewasa, Gogol mulai merasa malu dengan namanya. Ia menganggapnya aneh dan sulit diterima oleh lingkungannya. Dia juga mulai menolak budaya India dan ingin dianggap sebagai orang Amerika saja. Pada akhirnya, di usia 18, ia memilih mengubah namanya secara legal menjadi Nikhil.

Cerita terus bergulir hingga momen ketika ayahnya, Ashoke, tiba-tiba meninggal karena serangan jantung. Di sanalah Gogol—untuk pertama kalinya—membaca buku pemberian ayahnya, buku yang selama ini belum pernah ia sentuh. Buku itu menjadi jembatan emosional yang membuatnya menyadari bahwa kenangan dan cinta sang ayah tak pernah benar-benar hilang dari hidupnya.

Tanggapan saya

Membaca novel ini membuat saya ikut merasakan pergulatan hidup imigran India di Amerika—kesepian, kerinduan akan kampung halaman, dan usaha untuk tetap menjaga budaya di tengah lingkungan asing. 

Di sisi lain, kita juga diajak melihat bagaimana generasi kedua seperti Gogol mengalami kebingungan identitas. Ia tumbuh sebagai anak Amerika, namun tak bisa merasa sepenuhnya menjadi bagian dari budaya itu. Di saat yang sama, ia juga merasa asing dengan warisan India dari orang tuanya.

Jhumpa Lahiri, yang pernah memenangkan Pulitzer Prize, menulis dengan struktur dan alur yang sangat rapi. Ia tidak bermain drama berlebihan yang menyayat hati atau sebuah tragedi. Meski demikian, buku ini seperti menceritakan otobiografi Gogol, yaitu dari lahir sampai dewasa. Dengan periode waktu yang panjang seperti itu, saya merasa ceritanya jadi membosankan. Mungkin kalau ceritanya fokus pada satu periode saja, akan lebih menarik buat saya.

Namun saya yakin, banyak pembaca yang justru menikmati gaya penceritaan naratif ala otobiografi seperti ini, terutama orang yang merantau ke luar negeri dan ingin menghilangkan atau tidak bangga dengan budaya asli kita. 

Tema identitas, keluarga, dan pencarian jati diri yang kuat. Buku ini tetap layak dibaca, terutama karena ditulis oleh penulis sekaliber Jhumpa Lahiri yang sudah tidak diragukan lagi.

Komentar

Postingan Populer