Unggulan
Rumah Kertas
Beberapa bulan lalu, saya mendapat hadiah ulang tahun dari seorang teman: sebuah buku tipis berjudul Rumah Kertas. Teman saya tahu betul bahwa saya suka membaca. Meski saya sendiri belum pernah mendengar nama penulisnya, yaitu Carlos María Domínguez, rasa penasaran pun muncul.
Buku ini tak tebal, hanya sekitar 76 halaman, dan bisa ditamatkan dalam sekali duduk. Tapi isinya cukup padat dan menggelitik.
Ringkasan cerita
Ceritanya dibuka dengan kisah tragis seorang dosen sastra Amerika Latin di Universitas Cambridge bernama Bluma. Ia meninggal dunia setelah ditabrak mobil di sebuah tikungan jalan, tepatnya saat sedang berjalan sambil membaca Selected Poems karya Emily Dickinson. Kematian Bluma jadi bahan perdebatan: apakah ia mati karena mobil, atau karena puisi?
Setelah kejadian itu, tokoh utama, yaitu seorang kolega yang menggantikan Bluma mengajar, menerima sebuah paket misterius. Isinya: buku The Shadow Line karya Joseph Conrad, dikirim oleh seseorang bernama Carlos Brauer. Anehnya, buku ini penuh dengan debu dan serpihan semen yang mengeras. Tokoh "aku" pun mulai menelusuri siapa pengirimnya dan mengapa buku itu dikirimkan.
Penyelidikannya mengungkap bahwa pengirim buku itu adalah Carlos Brauer, mantan kekasih Bluma. Brauer digambarkan sebagai seorang pria yang begitu terobsesi pada buku. Saking cintanya pada buku, ia bahkan menyemen sebagian koleksinya dan menjadikannya bagian dari bangunan rumah.
Ia juga menyusun bukunya dengan aturan rumit berdasarkan "relasi antar penulis". Dua penulis yang saling membenci nggak boleh berada di rak yang sama.
Tanggapan saya
Melalui tokoh Brauer, Domínguez tampaknya ingin menyampaikan kritik pada perilaku ekstrem para pecinta buku, termasuk mereka yang gemar membeli buku hanya untuk dipajang tanpa pernah membacanya (uhm… saya juga, kadang). Koleksi buku menjadi semacam pernyataan identitas, bahkan ajang pamer terselubung.
“Kita pajang buku-buku kita ibarat otak kita sedang dikuak lebar-lebar untuk diteliti, sambil mengutarakan alasan-alasan omong kosong dan basa-basi ‘sok merendah’ soal jumlah koleksi yang tak seberapa.” (halaman 10)
Tak berhenti di situ, Rumah Kertas juga menyodorkan sindiran tajam untuk dunia penerbitan dan kepenulisan. Tentang ambisi yang kadang lebih soal gengsi daripada isi. Tentang penulis yang memburu popularitas dan penerbit yang memburu keuntungan. Kritik itu tertuang dalam kutipan berikut:
"Beberapa orang teman memberiku novel-novel yang baru mereka terbitkan, tapi cuma sedikit yang mempercakapkannya … memilih penerbit-penerbit kecil yang memperlakukan naskahmu dengan sungguh-sungguh, atau bersinar terang selama sebulan dengan penerbit besar dari Spanyol lantas lenyap bak bintang jatuh dari deretan buku baru … Ada bintang-bintang menyilaukan di peta sastra, orang-orang yang jadi kaya raya dalam semalam berkat buku-buku payah, yang dipromosikan habis-habisan oleh penerbitnya, di suplemen-suplemen koran, melalui pemasaran, anugerah-anugerah sastra, film-film acakadut, dan kaca pajang toko-toko buku yang perlu dibayar demi ruang untuk tampil menonjol” (halaman 15-16).
Maka, lebih dari sekadar kisah misteri atau cerita tentang kehilangan, Rumah Kertas adalah refleksi tajam tentang dunia literasi: dari pembacanya yang obsesif, hingga penulis dan penerbitnya yang haus validasi.
Dengan gaya bahasa yang ringkas tapi penuh sindiran, menurut saya buku ini mengajak kita untuk bertanya: apakah kita membaca karena cinta pada sastra, atau karena ingin terlihat pandai?
Singkat, tajam, dan memancing renungan, Rumah Kertas patut masuk daftar bacaan kamu.
Komentar
Postingan Populer
Anak Gembala yang Tertidur Panjang di Akhir Zaman
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Aiiiih beberapa part aku merasa tersindir 😅😅. Tentang buku yg blm sempat dibaca. Ntahlah kenapa ini. Buku itu udah jadi sahabatku sejak bayi lagi, Krn papa yg membiasakan anak2nya utk cinta buku dari kecil. JD sejak kami msh dalam kandungan pun, papa udh beliin banyaaak banget buku utk nanti dia bacakan ke kami.
BalasHapusPadahal dulu buku setebal harry Potter jilid terakhir bisa aku baca dalam 2 hari. Setelah nikah, ntah kenapa jadi lamaaaa. Akhirnya banyak buku dibeli, tp blm sempet dibaca, sebab buku yg tengah dibaca belum selesai 🤣
76 halaman ga banyak lah yaa. Memang bisa sekali duduk. Nama penulis ini juga blm pernah denger mba.
iyaa aku pun merasa tersindir hihii..
Hapus