Unggulan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
The Opposite of Fate
Berkenalan dengan tulisan Amy Tan adalah salah satu momen yang cukup berkesan dalam hidup saya. Semuanya dimulai saat saya mengikuti workshop menulis di kantor, di mana salah satu materi yang diberikan adalah esai personal Amy yang berjudul Mother Tongue. Esai ini bercerita tentang pengalamannya sebagai anak imigran Tiongkok di Amerika, yang tumbuh bersama seorang ibu dengan keterbatasan berbahasa Inggris.
Sekali membaca, saya langsung merasa terhubung. Ada sesuatu dalam caranya bercerita yang begitu jujur dan menyentuh, hingga saya hampir hafal detail ceritanya. Sejak itu, saya jadi penasaran membaca karya Amy yang lain.
![]() |
Dok. Pribadi |
Perjalanan pencarian ini membawa saya pada buku The Opposite of Fate, sebuah kumpulan esai Amy yang diterbitkan pada tahun 2003. Buku ini cukup tebal, 398 halaman, tapi setiap halamannya terasa bernilai.
Lagi dan lagi, saya dibuat kagum dengan cara Amy menulis, yaitu bagaimana ia mampu mengambil pengalaman hidupnya yang sering kali kompleks dan berat, lalu mengolahnya menjadi cerita yang tidak hanya detail, tapi juga kaya akan makna. Meskipun ia hidup di tempat yang jauh dari tempat saya berada, dengan budaya yang jauh berbeda, tulisan Amy selalu menghadirkan pesan yang terasa universal.
Salah satu esai yang paling melekat di ingatan saya adalah kisah Amy bersama ibunya, Daisy. Daisy digambarkan sebagai sosok yang penuh emosi—sering marah, paranoid, bahkan kerap mengancam akan bunuh diri. Ternyata, ancaman-ancaman itu berasal dari trauma masa kecilnya, ketika Daisy, yang saat itu baru berusia 9 tahun, menyaksikan ibunya sendiri mengakhiri hidupnya setelah menjadi korban kekerasan seksual. Sejak saat itu, setiap kali merasa tidak bahagia, Daisy akan mengancam melakukan hal yang sama—bahkan pernah hampir melompat dari mobil yang sedang melaju.
Sebagai anak, Amy tentu merasa stres dengan ancaman seperti itu. Ada satu titik di mana ia sampai berharap kalau ancaman itu benar-benar terjadi, agar rasa bebannya hilang.
Keluarga Amy juga sempat pindah rumah hingga lima kali karena Daisy selalu ingin pindah setiap kali merasa tidak bahagia. Anehnya, ayah Amy selalu menuruti semua permintaan Daisy, meskipun hal itu tampak tak rasional.
Daisy adalah sosok yang penuh kontradiksi. Ia sering digambarkan emosional, irasional, dan percaya pada hantu, sangat berbeda dengan ayah Amy yang berpendidikan, berprestasi, dan, konon, tampan. Faktanya, sebelum menikah dengan Daisy, ayah Amy sebenarnya punya banyak pilihan pasangan—perempuan-perempuan yang cerdas dan berprestasi. Tapi, entah kenapa, ia justru memilih Daisy, seorang perempuan yang saat itu masih terikat pernikahan lain dan bahkan pernah masuk penjara karena dianggap berselingkuh dengan ayahnya Amy.
Meskipun kehidupan bersama ibunya tidak mudah, Amy menyadari bahwa semua itu berakar dari kehidupan Daisy yang penuh luka. Selain trauma masa kecilnya, Daisy juga pernah mengalami pernikahan yang abusive sebelum akhirnya menikahi ayah Amy. Ada lapisan-lapisan rasa sakit dan kehilangan yang membentuk siapa Daisy, dan itulah yang, menurut saya, membuat tulisan Amy terasa begitu manusiawi.
Amy Tan juga sering kali dibuat malu oleh Daisy yang kerap berperilaku tidak terduga. Salah satu momen yang diingat Amy dengan jelas dituangkan dalam esainya yang berjudul Fish Cheeks. Di esai ini, Amy mengenang sebuah perayaan Natal yang berbeda dari biasanya.
Saat itu, keluarga mereka mendapat kunjungan spesial dari keluarga seorang menteri. Amy, yang kala itu masih remaja, merasa gugup bukan main karena ia diam-diam menyukai anak laki-laki dari keluarga tersebut.
Tapi yang lebih membuatnya cemas adalah sajian yang akan mereka hidangkan. Alih-alih kalkun, kentang tumbuk, atau makanan khas Natal ala Amerika, ibunya justru menyiapkan hidangan khas Tiongkok. Amy khawatir keluarga menteri akan merasa canggung dengan makanan dan suasana rumah mereka—dan mungkin akan menganggap keluarganya aneh.
Sayangnya, kekhawatirannya menjadi kenyataan. Keluarga menteri tampak terkejut saat ayah Amy bersendawa keras setelah makan—kebiasaan yang dianggap sopan dalam budaya Tiongkok tapi tentu berbeda di budaya Barat. Amy juga merasa malu ketika ibunya dengan penuh antusias memberikan kepala ikan kepadanya. Kepala ikan adalah bagian favorit Amy, tapi melihatnya disajikan begitu saja di depan keluarga tamu membuatnya merasa ingin lenyap dari pandangan.
Namun, setelah keluarga menteri itu pulang, Daisy menyadari bahwa Amy merasa malu dengan semua kejadian tadi. Ia mengingatkan Amy untuk tetap bangga dengan akar budayanya, apa pun yang orang lain pikirkan. Amy kemudian menyadari bahwa seluruh makanan yang ibunya siapkan malam itu—termasuk kepala ikan—sebenarnya adalah hidangan favorit Amy. Itu adalah cara Daisy menunjukkan rasa cinta, meski caranya kadang tidak sesuai dengan harapan Amy.
Mungkin itulah alasan mengapa saya merasa sangat relate dengan cerita Amy Tan. Seperti Amy, saya juga tumbuh bersama seorang ibu yang kadang bisa menjengkelkan dan sulit dipahami. Ada momen-momen di mana saya merasa kesal dengan apa yang ia lakukan—hal-hal kecil yang tidak sesuai dengan harapan saya, atau tindakan yang terasa memalukan di depan orang lain.
Namun, semakin saya merenungkan kisah Amy, semakin saya menyadari ada pola yang sama dalam hubungan saya dengan ibu. Banyak hal yang mungkin tidak saya sukai dari tindakannya, tapi di balik semua itu, sebenarnya ada cinta yang besar. Tindakannya, meskipun sering terasa tidak nyaman, adalah caranya menunjukkan rasa sayangnya.
Bagi saya, Amy Tan bukan sekadar penulis. Ia adalah seorang pengingat bahwa di balik setiap pengalaman hidup, selalu ada cerita yang layak untuk diceritakan—tidak sempurna, tidak selalu indah, tapi selalu nyata.
Postingan Populer
Anak Gembala yang Tertidur Panjang di Akhir Zaman
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar