Kukila Langsung ke konten utama

Unggulan

The Joy Luck Club

Dok. Pribadi Belakangan ini, saya lagi keranjingan membaca karya-karya Amy Tan . Rasanya ada sesuatu yang begitu kuat dalam cara dia bercerita, terutama tentang hubungan keluarga dan budaya. Jadi, ketika tahu kalau novel pertamanya, The Joy Luck Club (1989), jadi finalis untuk berbagai penghargaan bergengsi seperti National Book Award dan National Book Critics Circle Award, saya langsung penasaran ingin membacanya. Novel ini mengisahkan kehidupan empat ibu imigran Tionghoa-Amerika yang tinggal di San Francisco dan membentuk kelompok bermain mahjong bernama The Joy Luck Club . Lewat kelompok ini, cerita hidup mereka—dan anak-anak perempuan mereka yang lahir dan dibesarkan di Amerika—mulai terungkap. Kisah dibuka dengan meninggalnya Suyuan Woo, salah satu anggota kelompok mahjong. Anaknya, Jing-mei Woo, harus menggantikan posisi ibunya dalam kelompok. Tapi ada satu kebenaran mengejutkan yang terungkap di tengah cerita: Suyuan ternyata memiliki dua anak lain dari pernikahan sebelumnya ya...

Kukila


Sering mendengar nama Aan Mansyur, tapi baru kali ini saya membaca tulisannya.

Novel pertama Aan yang saya baca ini berjudul Kukila, sebuah kumpulan 16 cerita pendek yang dimulai dengan cerpen berjudul sama. Kukila bercerita tentang seorang perempuan yang ditinggal oleh anak-anak dan suaminya akibat perselingkuhan, serta kejutan-kejutan tak terduga dalam keluarganya.

Cerpen Kukila dibagi menjadi beberapa bagian, dengan plot maju mundur dan menggunakan sudut pandang karakter yang berbeda-beda. Namun, setiap karakternya terasa lemah, sehingga saya merasa tidak ada perbedaan signifikan antara satu karakter dengan yang lainnya. Selain itu, gaya penulisannya sangat lambat, melankolis, dan mendayu-dayu. Duh, rasanya membosankan sekali.

Terlebih lagi, ada satu bagian yang cukup menggelikan bagi saya, yaitu penjelasan tentang asal-usul nama tokoh Kukila dan Pilang. Disebutkan bahwa Kukila diambil dari nama burung, sementara Pilang dari nama pohon. Rasanya seperti penulis seperti mahasiswa yang baru belajar istilah keren dari buku, lalu terus menerus membicarakannya. Selain itu, saya lebih suka jika pembaca bisa sadar sendiri, daripada dicekokin informasi seperti ini.

Meski saya tidak terlalu suka dengan cerpen pertama, ada beberapa cerpen lainnya yang saya nikmati, seperti Kebun Kelapa di Kepalaku dan Setengah Lusin Ciuman Pertama.

Kebun Kelapa di Kepalaku bercerita tentang seorang anak yang rutin disuruh ibunya untuk potong rambut oleh Tante Mare. Meskipun hasilnya buruk, anak tersebut heran mengapa ibunya selalu menyuruhnya ke sana. Bertahun-tahun kemudian, ia baru tahu bahwa Tante Mare harus menghidupi keluarganya lewat pekerjaan itu. Anak tersebut pun menyadari bahwa rambut di kepalanya sudah seperti kebun kelapa.

Sedangkan Setengah Lusin Ciuman Pertama adalah cerita tragis tentang pengalaman tokoh utama berciuman dengan berbagai orang. Di akhir cerita, ada plot twist yang mengejutkan mengenai siapa orang yang pertama ia cium.

Saya suka dua cerpen ini karena bahasanya tidak terlalu mendayu-dayu dan cukup straightforward. Saya kurang menyukai cerpen dengan narasi yang panjang, kontemplatif (di mana tokoh hanya berpikir dan menduga-duga sendiri), serta minim dialog. Rasanya membosankan.

Buku Kukila ini bukan page-turner bagi saya. Melihat gaya menulis Aan yang puitis seperti ini, saya rasa saya tidak akan membaca buku lainnya.

Komentar

Postingan Populer