Balik Kampung 2B: Contemplations Langsung ke konten utama

Unggulan

The Joy Luck Club

Dok. Pribadi Belakangan ini, saya lagi keranjingan membaca karya-karya Amy Tan . Rasanya ada sesuatu yang begitu kuat dalam cara dia bercerita, terutama tentang hubungan keluarga dan budaya. Jadi, ketika tahu kalau novel pertamanya, The Joy Luck Club (1989), jadi finalis untuk berbagai penghargaan bergengsi seperti National Book Award dan National Book Critics Circle Award, saya langsung penasaran ingin membacanya. Novel ini mengisahkan kehidupan empat ibu imigran Tionghoa-Amerika yang tinggal di San Francisco dan membentuk kelompok bermain mahjong bernama The Joy Luck Club . Lewat kelompok ini, cerita hidup mereka—dan anak-anak perempuan mereka yang lahir dan dibesarkan di Amerika—mulai terungkap. Kisah dibuka dengan meninggalnya Suyuan Woo, salah satu anggota kelompok mahjong. Anaknya, Jing-mei Woo, harus menggantikan posisi ibunya dalam kelompok. Tapi ada satu kebenaran mengejutkan yang terungkap di tengah cerita: Suyuan ternyata memiliki dua anak lain dari pernikahan sebelumnya ya...

Balik Kampung 2B: Contemplations

Pernah nggak sih, merantau ke luar kota, tinggal di kota baru, lalu bertahun-tahun kemudian balik ke kampung halaman dan melihatnya dengan perspektif yang berbeda?

Kalau dipikir-pikir, saya merasa hal yang sama terjadi pada saya. Bandung, tempat saya lahir dan tumbuh, penuh kenangan indah, dengan orang-orang yang ramah dan santai. Namun, sejak saya pindah ke Tangerang dan hanya pulang ke Bandung dua kali setahun, saya mulai melihat kota ini dengan cara yang berbeda. Sekarang, Bandung terasa lebih kumuh, kotor, dan terkesan ketinggalan zaman, terutama karena sistem transportasinya yang nggak banyak berubah. Kesan santai pun berubah; orang-orang Bandung terlihat kurang gesit, kurang tangguh, dan gampang pundung.

Dua kali foto, fokusnya selalu di latar belakang buku.

Perasaan seperti ini ternyata ada dalam buku Balik Kampung 2B: Contemplations, yang diedit oleh Verena Tay. Buku ini merupakan kumpulan cerita pendek dari sembilan penulis yang berbeda. Setiap penulis bercerita tentang koneksi mereka dengan tempat-tempat tertentu di Singapura, dan bagaimana pengalaman itu membentuk identitas mereka, yang ternyata tidak bisa dipisahkan dari diri mereka sendiri.

Cerita kesukaan

Setiap penulis memiliki cara penulisannya yang berbeda-beda. Ada yang bergaya fantasi, seperti di Under The Bridge yang menceritakan kisah dari sudut pandang troll yang hidup di bawah jembatan. Lalu ada juga Wayang Satu, yang ditulis dengan penuh dialog layaknya cerita pendek. Dan yang paling saya suka, The Vomiting Incident, yang ditulis dengan full narasi.

Ngomong-ngomong soal The Vomiting Incident, saya paling suka cerita ini. Penulisnya, Cyril Wong, mengisahkan pemakaman sang kakek yang berlangsung di ruang kosong (biasanya ruang serba guna di bawah blok apartemen di Singapura) dan bagaimana hubungan keluarga yang tegang terjadi di dalam ruang sempit rumah masa kecilnya yang terletak di Bedok, Singapura.

Membaca karya Cyril seperti membaca esai atau kisah nyata, karena tokoh utama dalam cerita ini banyak merefleksikan pengalaman pribadinya. Saya pun jadi bisa membayangkan pengalaman yang dialami oleh tokoh utamanya, yaitu ingin bebas dari jeratan rumah yang sempit sekaligus hubungan keluarga yang tidak hangat.

Salah satu karya lain yang saya sukai adalah Certainty karya Tania De Rozario. Dalam cerita ini, ia menggambarkan situasi yang sangat memilukan dan penuh penderitaan, menggali dampak psikologis dari hubungan keluarga yang hancur, dan bagaimana semua itu berujung pada tindakan yang sangat mengerikan. Selain karena ceritanya yang tragis, saya juga suka bagaimana storytelling-nya begitu kuat dan mampu menyentuh hati pembaca, seperti kalimat ini di bawah ini.

"And anyway, the fact that I'd felt numb the first time I gazed upon his face, didn't feel that oh-so-transcendent feeling of maternal warmth that everyone talks about, made me realise what a mistake I'd made by not insisting that the doctor go ahead with the operation. Motherhood was a lie I'd been fed by miserable women who wanted the rest of us to feel as trapped and inadequate as them. And I'd eaten it up. Swallowed it like a bad pill. I knew I'd make a mistake the minute Samuel emerged a separate being from me, and upon reflex, started crying: the trauma of the world touches us the very minute we enter it." (hal. 88)

Namun, jujur saja, saya agak kesulitan menikmati beberapa cerita lainnya. Bukan karena gaya penulisannya buruk, tapi karena buku ini sangat lokal dan menceritakan tempat-tempat di Singapura yang belum pernah saya kunjungi. Jadi, saya nggak bisa membayangkan suasananya. Apalagi kalau ceritanya menyebutkan banyak tempat di Singapura, langsung saya skip aja, seperti di Wayang Satu.

Direkomendasikan atau tidak?

Ternyata, buku yang diterbitkan oleh Math Paper Press ini sudah punya banyak seri sebelumnya, seperti Balik Kampung dan Balik Kampung 2A: People and Places yang terbit di tahun 2012. Kalau kamu lebih suka gaya penulisan yang straightforward dan langsung, editor buku ini menyarankan untuk baca Balik Kampung 2A: People and Places.

Jadi, kesimpulannya, karena buku ini sangat berkaitan dengan Singapura, saya nggak terlalu tertarik untuk baca seri lainnya, dan saya rasa ini bukan buku yang cocok untuk kamu yang belum pernah ke Singapura. Lebih baik pilih buku lain yang lebih universal. Hehe.

Komentar

Postingan Populer