Unggulan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong
![]() |
Dok. Pribadi |
Akhirnya, kerinduan kita pada karya-karya Eka Kurniawan terobati. Di akhir Juli lalu, Eka menerbitkan novel terbaru berjudul Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong.
Cerita ini mengisahkan Sato Reang, seorang anak yang dibesarkan dengan nilai-nilai agama yang kuat oleh ayahnya. Namun, Sato Reang merasa tertekan karena tidak bisa menikmati masa kecilnya seperti anak-anak lainnya. Konflik demi konflik muncul, hingga puncaknya saat ia menginjak masa remaja.
Menangkap fenomena anak-anak
Di banyak daerah di Indonesia, sepulang sekolah, anak-anak biasanya melanjutkan dengan belajar mengaji dan salat berjamaah saat magrib di surau dekat rumah.
Dalam acara live TikTok Gramedia, Eka Kurniawan menyebutkan novel ini menangkap kebiasaan yang sengaja ditanamkan oleh orang tua untuk menurunkan nilai-nilai spiritual atau keagamaan dari mereka kepada anak-anak. Ada yang melakukannya dengan lembut dan membuka diskusi, sehingga anak dapat menyerap nilai tersebut dengan baik. Namun, ada juga yang bersifat satu arah dan penuh pemaksaan, menyebabkan trauma bagi anak.
Di novel ini, ayah Sato Reang cukup keras dalam mengajaknya beribadah. Misalnya, ketika Sato Reang bermain bola plastik saat orang lain mengaji, ayahnya menusuk bola tersebut dengan pisau. Suara bola kempes itu selalu diingat oleh Sato hingga dewasa. Hingga akhirnya, Sato Reang 'dendam' ingin menunjukkan bahwa ia sudah tidak taat lagi, rebel, dan bisa menghasut orang lain.
Refleksi pribadi
Bagi kita yang pernah merasakan konflik internal tentang agama, novel ini sangatlah relatable. Saya sendiri pernah merasakan hal yang sama. Saat masa kuliah, saya sering bertanya-tanya: kenapa saya harus salat, puasa, dan mengaji? Mengapa saya harus mengikuti semua rutinitas keagamaan ini? Bisakah saya mencintai Tuhan tanpa harus melakukan semua itu?
Seiring waktu, konflik tersebut mulai pudar, terutama setelah saya banyak mendengar ceramah keagamaan. Salah satunya dari Ustaz Aam Amiruddin, yang sering memberikan jawaban praktis di tataran keseharian dan logis. Jawaban-jawaban tersebut membantu saya memahami agama dengan lebih baik dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Saya pun menjadi lebih taat.
Belajar dari pengalaman Sato Reang dan diri saya sendiri, saya tidak ingin anak saya trauma dengan agama karena metode pengajaran yang salah, seperti tidak adanya ruang diskusi atau tidak relevan dengan kehidupan sehari-hari.
Daripada memarahi dan memaksa anak saya salat, atau menakutinya dengan ancaman masuk neraka (yang sering saya dengar dari orang dewasa saat kecil), saya lebih memilih memberikan penjelasan yang mudah dipahami anak kelas 1 SD tentang mengapa ia harus salat. Apalagi ia belum bisa berpikir abstrak.
"Allah sudah memberi kita banyak kenikmatan. Kita bisa tinggal di rumah dengan nyaman, kamu bisa sekolah dengan baik, dan kita makan enak setiap hari, semua itu karena kebaikan Allah. Jadi, kita salat untuk berterima kasih pada Allah," begitu saya menjelaskan kepadanya.
Saya juga tidak ingin anak saya menghafal surat pendek tanpa memahami maknanya. Jadi, saya mencoba menjelaskannya sesuai dengan kemampuannya. Misalnya, saya jelaskan bahwa surat Al-Ikhlas menggambarkan bahwa Allah itu satu. Dia tidak memiliki adik, kakak, atau saudara seperti manusia.
Novel Eka Kurniawan ini semakin mendorong saya untuk mendidik anak dalam beragama dengan cara yang positif, sehingga ia bisa beribadah tanpa rasa takut. Saya ingin ia beribadah karena cinta, bukan karena tertekan.
Postingan Populer
Anak Gembala yang Tertidur Panjang di Akhir Zaman
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar