Unggulan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Seorang Pria yang Melalui Duka dengan Mencuci Piring
Kisah Hiro, seorang anak yang menderita Moebius Syndrome, lewat di beranda Twitter saya (sebelum berubah menjadi X). Kisah tersebut dibagikan oleh orang tuanya untuk membangun kesadaran tentang keberadaan penyakit langka ini. Saya akhirnya mengikuti cerita Hiro dan tahu perkembangannya di awal kelahiran hingga ia wafat di tahun 2021.
Dua tahun sejak kematian Hiro, sang ayah, dr. Andreas Kurniawan, Sp.KJ, menerbitkan buku Seorang Pria yang Melalui Duka dengan Mencuci Piring. Ia menuliskan buku ini dari kacamata psikiater yang merupakan profesinya, serta dari kacamata seorang ayah yang merayakan kedatangan dan memaknai kepergian anaknya.
Bagian awal buku dibuka dengan 24 jam pertama saat ia ditinggal oleh Hiro yang ternyata bukanlah sulit untuk dilalui. Mengapa? Karena air mata kedua orang tuanya sudah kering, disibukkan mengurus berkas-berkas, menyapa orang-orang yang berdatangan.
Namun ternyata ia seperti sedang naik rollercoaster yang berjalan naik, menuju titik tertinggi yang mungkin dicapai. Di posisi tersebut, ia mengalami mental breakdown karena di sini orang-orang akan kembali beraktivitas masing-masing. "Di sinilah realitas akan menamparmu sekeras-kerasnya," tulis Andreas.
Ia juga menuliskan bahwa keberatannya dengan larangan untuk bersedih dan menangis bagi orang-orang yang berduka, karena dianggap memberatkan perjalanan orang tersebut ke akhirat. Bagi Andreas, emosi senang dan sedih adalah hal yang wajar dan harus ada pada manusia. Dan menangis merupakan reaksi biologis untuk mengurangi rasa sakit. Secara sosial, menangis juga menjadi sinyal kepada orang lain bahwa kita tersakiti dan butuh pertolongan.
Andreas melanjutkan bagaimana ia menganalogikan berduka seperti kegiatan cuci piring. Pertama, membuang sisa makanan ke tempat sampah merupakan analogi dari kita harus mindful untuk meletakkan kenangan pada tempat yang seharusnya.
Kedua, membilas piring dengan air adalah tentang kita harus mengalirkan pikiran baik saat diri saat berduka. Ketiga, merendam alat makan dalam air dan tambahkan sabun bila ada noda lengket berarti doa dan penghiburan dari teman akan membuat hati kita terasa hangat.
Untuk arti tiga langkah lanjutannya, bisa dibaca langsung di buku ini ya.
Relevan dan mudah dicerna
Saya suka membaca buku yang dibaca secara digital di Gramedia Digital ini. Menurut saya buku ini akan sangat relevan bagi orang-orang yang tengah melewati duka (dan semua orang pasti mengalaminya). Dengan analogi cuci piring, Andreas bisa menjelaskan proses duka dengan bahasa yang ringan.
Ia juga mengajak orang-orang yang berduka agar terkoneksi dengan orang yang tepat agar bercerita ke orang yang memahami agar retakan pada hati kita bisa pelan-pelan terangkai kembali. Jadi, menurut saya, pilihlah teman-teman yang bisa memahami kita dan tidak akan memberikan judgement.
Meskipun kita sedang tidak berduka, buku ini juga bermanfaat karena menginsipirasi kita untuk tidak mengajarkan orang lain cara berduka. Kita bisa jadi lebih berhati-hati memilih kata, seperti tidak mengungkapkan kalimat 'jangan menangis', 'kamu sih mending, aku lebih sedih saat anakku meninggal', atau 'tenang, kan masih ada anak lainnya'. Ugh, enggak sopan banget ya.
Dan yang terpenting, buku ini juga mendorong kita untuk merayakan kebersamaan dengan orang-orang yang masih hidup di sekitar kita, karena momen tersebut suatu saat akan hilang.
"Cuci piring itu seperti berduka. Tidak ada orang yang suka melakukannya, tapi pada akhirnya, seseorang harus melakukannya." (hal. 32)
Postingan Populer
Anak Gembala yang Tertidur Panjang di Akhir Zaman
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar