Langsung ke konten utama

Unggulan

Menggali Ajaran Kebijaksanaan dalam Chadō

Siapa di sini yang suka minum teh? Di Indonesia, teh seringkali dinikmati saat menjamu tamu atau sebagai penghilang dahaga sehabis makan. Di warung nasi, pengunjung biasanya menikmati teh kental, pahit, tanpa pemanis, dan dicampur dengan bahan tertentu seperti melati atau vanila. Dok. Pribadi Di Jepang, teh mendapatkan perhatian yang khusus. Untuk meminumnya saja ada serangkaian upacara yang mengiringinya, atau biasa disebut chadō . Rangkaian upacara ini bersifat rigid, artinya sejumlah aturan yang harus dipenuhi. Misal, tamu harus memakai baju kimono, di dalam ruangan harus ada hiasan dinding (kaligrafi tulisan kanji) dan bunga, teh harus disajikan tanpa terburu-buru, dan lainnya. Segala 'keribetan' itu bukan tidak ada maksud, malah ada makna yang relevan dengan zaman modern. Itulah yang dibahas di buku Menggali Ajaran Kebijaksanaan dalam Chadō dari Syaraf Maulini. Misalnya, pakaian kimono yang membatasi ruang gerak pemakainya, mengartikan bahwa kita hidup dalam bermasyarakat

Memburu Muhammad

Begitu kantor mengeluarkan kebijakan untuk WFH lagi, saya buru-buru browsing buku di marketplace. Saya perlu distraksi supaya tidak kesepian di kos, dan pastinya agar mata tidak lihat laptop atau hp melulu.

Nah, saat berburu buku, saya lihat judul Memburu Muhammad yang memercikkan rasa penasaran. Selain itu, sampul bukunya bagus. Meski belum pernah sama sekali baca sinopsisnya, buku ini juga pernah direkomendasikan seseorang di Instagram Klub Buku Narasi. Akhirnya saya memutuskan untuk beli.

Mengkritisi Islam

Memburu Muhammad merupakan buku kumpulan 19 cerpen. Feby Indirani, penulisnya, sepertinya memiliki ketertarikan pada topik agama Islam. Kalau baca dari profilnya, hal ini tidak mengherankan karena ia senang mendengarkan ceramah K.H. Jalaludin Rakhmat dan sering mengikuti kelas tasawufnya di setiap Ramadan.

Cerpen-cerpen Memburu Muhammad berisi tentang mengkritisi dunia Islam. Misal, ia membuat cerita dan tokoh rekaan yang berinteraksi dengan Abu Jahal, seseorang yang dikenal sebagai musuh kaum muslim. Di cerita tersebut, Abu Jahal muncul di masa sekarang, dan mengemukakan perasaan tidak adil pada tokoh utama tentang mengapa Nabi Muhammad lebih dicintai masyarakat. 

Buku Memburu Muhammad dibuka dengan cerpen yang sangat gelap, yaitu tentang seorang anak yang mengintip kedua orang tuanya sedang makan daging manusia. Anak tersebut heran sekali mengapa kedua orang tuanya gemar daging sesamanya. Rupanya penulis ingin menggambarkan tentang firman Allah SWT tentang bagaimana gibah (bergunjing/bergosip/membicarakan kebusukan orang lain) itu sama dengan memakan bangkau saudara sendiri.

Menurut saya ini topik yang menarik sekali. Gibah atau bergosip sangat lekat dengan kehidupan sehari-hari kita. Padahal agama melarangnya. Karena aturannya tampak jauh dan abstrak, Feby menggambarkan larangan tersebut secara gamblang, yaitu tokoh-tokoh yang sedang makan daging manusia secara betulan. Ewwww.

Cerpen lainnya bercerita tentang arwah yang terus menghantui sebuah desa karena tidak dimandikan (ini juga syarat dalam agama Islam bahwa jenazah harus dimandikan), tentang dua orang muslim yang enggan makan bakso babi tapi sekaligus menyayangkan mereka tidak bisa menyantap bakso terenak di dunia itu, atau tentang ustaz ternama yang poligami (ini mengingatkan saya pada sosok ustaz beneran yang berasal dari Bandung, hehe). Di cerpen tersebut, Feby menggambarkan tentang bagaimana keluarga yang terlihat bahagia dari luar itu ternyata "kebakaran" di dalam rumahnya.

Cerpen favorit saya ...

Dari semua cerpen, ada dua cerpen yang saya suka sekali. Hati-hati spoiler yaa! Pertama, cerpen berjudul "Pengincar Perempuan Tuantu". Cerpen ini berkisah tentang sebuah binatang yang mengincar wanita-wanita di Tuantu. Akibatnya, para wanita tersebut harus dikurung di dalam rumahnya. Di bagian akhir cerita, tokoh bertanya:

"Ludba, saya benar-benar tidak mengerti satu hal. Secara akal sehat, jika ada binatang buas berkeliaran, mereka yang seharusnya dikerangkeng. Bukan manusia yang jadi terkurung!"

Ludba terdiam. Mereka menghabiskan perjalanan dalam hening.

"Nona," ujar Ludba sebelum Nisa turun.

"Anda benar, memang seharusnya begitu. Tapi mengatur-atur dan melarang-larang perempuan adalah pilihan yang selalu lebih mudah ketimbang bersusah-susah mengatasi persoalan yang sebenarnya." (56)


JRENG! Di titik itulah saya merasa buku ini bagus banget. Yes, this book is for me! Temanya sangat relate sekali dan kita bisa melihat di kehidupan nyata sehari-hari. Misal, seperti kasus pelecehan seksual pada perempuan, justru perempuan lah yang diatur cara berpakaiannya. Harusnya para pelaku lah yang diajari untuk tidak melecehkan perempuan! 

Cerpen lainnya yang sangat menarik adalah "Perempuan yang Ingin Membakar Surga". Cerpen ini terinspirasi dari saduran cerita Rabiah Al-Awadiyah (713 M-801 M). Salah satu cerita yang paling terkenal adalah, dikisahkan bahwa pada suatu siang, Rabiah berjalan di Kota Bagdad sambil menenteng air dan memenggangi obor di tangan kirinya.  Seseorang pun bertanya kepada beliau mau dikemanakan air dan obor tersebut? Ia lalu menjawab, "Aku hendak membakar surga dengan obor ini dan memadamkan neraka dengan air ini. Agar orang tidak lagi mengharapkan surga dan menakutkan neraka dalam ibadahnya."

Cerita ini sangat menyentuh hati saya. Saya jadi ingat ceramah ustaz favorit saya, Aam Amiruddin, tentang ikhlas. Ikhlas paling tinggi itu bukan beribadah mengharapkan pahala, tetapi karena cinta pada Allah SWT. Di kumpulan cerpen ini juga ada pertanyaan, apakah manusia tetap akan beribadah jika surga dan neraka tidak ada?

Setelah baca karya Feby, saya merasa menemukan penulis favorit baru. Saya jadi ingin baca karya dia yang lain, yaitu Bukan Perawan Maria. Saya suka dengan tema mengkritisi Islam. Bukan, bukan untuk menjelekkan agama, tapi justru karena mencintainya, kita harus mengkritisi agar paham dan mencintai sepenuh hati. Spiritualisme kritis, kalau kata Ayu Utami mah.

Meski buku ini temanya sensitif, tulisan Feby juga tidak pernah menjelek-jelekan agama. Justru ia menyorot pemeluk agamnya yang "ngeyel" atau sesuatu yang ada di sudut hati secara diam-diam, seperti bertanya-tanya seperti apa enaknya daging babi. Hehe. Sepertinya tema buku seperti ini masih jarang ya? Menurut saya, buku ini layak dibaca.

Komentar

Postingan Populer