Bukan Perawan Maria Langsung ke konten utama

Unggulan

The Joy Luck Club

Dok. Pribadi Belakangan ini, saya lagi keranjingan membaca karya-karya Amy Tan . Rasanya ada sesuatu yang begitu kuat dalam cara dia bercerita, terutama tentang hubungan keluarga dan budaya. Jadi, ketika tahu kalau novel pertamanya, The Joy Luck Club (1989), jadi finalis untuk berbagai penghargaan bergengsi seperti National Book Award dan National Book Critics Circle Award, saya langsung penasaran ingin membacanya. Novel ini mengisahkan kehidupan empat ibu imigran Tionghoa-Amerika yang tinggal di San Francisco dan membentuk kelompok bermain mahjong bernama The Joy Luck Club . Lewat kelompok ini, cerita hidup mereka—dan anak-anak perempuan mereka yang lahir dan dibesarkan di Amerika—mulai terungkap. Kisah dibuka dengan meninggalnya Suyuan Woo, salah satu anggota kelompok mahjong. Anaknya, Jing-mei Woo, harus menggantikan posisi ibunya dalam kelompok. Tapi ada satu kebenaran mengejutkan yang terungkap di tengah cerita: Suyuan ternyata memiliki dua anak lain dari pernikahan sebelumnya ya...

Bukan Perawan Maria

 


Membaca Bukan Perawan Maria karya Feby Indirani memang tidak sekaget saat saya membaca buku keduanya, Memburu Muhammad, waktu pertama kali. Tema kedua buku ini sama yaitu Islamisme magis. Feby selalu membuat cerita yang berakar dari tradisi, mitologi, keseharian hidup berislam yang lekat dalam hal-hal gaib dalam dunia kaum pemercaya. 

Ada cerita-cerita yang cukup menohok, misalnya "Baby Ingin Masuk Islam". Karya ini bercerita tentang seekor babi bernama Baby yang menyatakan keinginannya menjadi muslim. Seorang kiai bernama Fikri menyatakan ini pada umat dan ditanggapi dengan shock. Ia terus memperjuangkan agar Baby bisa jadi muslim. Lucunya, ketika Baby akan diislamnkan, seorang umat ingin ikut kiai agar bisa menyicipi dagingnya.

Atau cerpen "Tanda Bekas Sujud" yang bercerita tentang orang-orang terobsesi memiliki tanda hitam di dahinya pertanda srajin salat, perempuan yang kehilangan dirinya agar bisa memenuhi standar istri saleh di cerpen "Perempuan yang Kehilangan Wajahnya", atau cerpen "Malaikat Cuti" yang bercerita orang-orang yang berlomba menujukkan amal baik dan buruknya di sosial media sehingga malaikat tidak perlu repot mencatat.  

Lebih berbahaya 

Saya merasa buku pertama ini lebih liar dan imajinatif daripada buku kedua. Misalnya, ada percakapan antar dua malaikat, atau imajinasi saat orang yang sudah menyiapkan diri berbahasa arab ternyata di akhirat ditanya pakai bahasa daerah oleh malaikat, atau adegan senggama antara guru spritual dan murid laki-lakinya. Sangat uwow sekali bukan?

Juga cerpen "Bukan Perawan Maria" yang berkisah tentang seorang perempuan biasa yang suka pergaulan bebas (mirip pelacur) yang tiba-tiba hamil padahal ia tidak sedang berhubungan seks dalam waktu dekat. Semua orang ragu padanya dan tidak sudi menyandingkan ia dengan Maria. Menurut Feby, karya ini banyak menimbulkan murka sebagian orang, sehingga berdampak pada luka kreatif yang panjang. 

Masih menunggu versi novel

Membaca Bukan Perawan Maria terasa tidak se-excited saat membaca karyanya dengan napas yang sama. Mungkin, meski tulisannya bagus, tapi jadi bosan dan predictable? Sebagai pembaca, saya berharap karya Feby selanjutnya berupa novel dengan satu tema saja tetapi mendalam. Saya pikir ini bisa jadi lebih greget bacanya.

Komentar

Postingan Populer