Langsung ke konten utama

Unggulan

Menggali Ajaran Kebijaksanaan dalam Chadō

Siapa di sini yang suka minum teh? Di Indonesia, teh seringkali dinikmati saat menjamu tamu atau sebagai penghilang dahaga sehabis makan. Di warung nasi, pengunjung biasanya menikmati teh kental, pahit, tanpa pemanis, dan dicampur dengan bahan tertentu seperti melati atau vanila. Dok. Pribadi Di Jepang, teh mendapatkan perhatian yang khusus. Untuk meminumnya saja ada serangkaian upacara yang mengiringinya, atau biasa disebut chadō . Rangkaian upacara ini bersifat rigid, artinya sejumlah aturan yang harus dipenuhi. Misal, tamu harus memakai baju kimono, di dalam ruangan harus ada hiasan dinding (kaligrafi tulisan kanji) dan bunga, teh harus disajikan tanpa terburu-buru, dan lainnya. Segala 'keribetan' itu bukan tidak ada maksud, malah ada makna yang relevan dengan zaman modern. Itulah yang dibahas di buku Menggali Ajaran Kebijaksanaan dalam Chadō dari Syaraf Maulini. Misalnya, pakaian kimono yang membatasi ruang gerak pemakainya, mengartikan bahwa kita hidup dalam bermasyarakat

Bukan Perawan Maria

 


Membaca Bukan Perawan Maria karya Feby Indirani memang tidak sekaget saat saya membaca buku keduanya, Memburu Muhammad, waktu pertama kali. Tema kedua buku ini sama yaitu Islamisme magis. Feby selalu membuat cerita yang berakar dari tradisi, mitologi, keseharian hidup berislam yang lekat dalam hal-hal gaib dalam dunia kaum pemercaya. 

Ada cerita-cerita yang cukup menohok, misalnya "Baby Ingin Masuk Islam". Karya ini bercerita tentang seekor babi bernama Baby yang menyatakan keinginannya menjadi muslim. Seorang kiai bernama Fikri menyatakan ini pada umat dan ditanggapi dengan shock. Ia terus memperjuangkan agar Baby bisa jadi muslim. Lucunya, ketika Baby akan diislamnkan, seorang umat ingin ikut kiai agar bisa menyicipi dagingnya.

Atau cerpen "Tanda Bekas Sujud" yang bercerita tentang orang-orang terobsesi memiliki tanda hitam di dahinya pertanda srajin salat, perempuan yang kehilangan dirinya agar bisa memenuhi standar istri saleh di cerpen "Perempuan yang Kehilangan Wajahnya", atau cerpen "Malaikat Cuti" yang bercerita orang-orang yang berlomba menujukkan amal baik dan buruknya di sosial media sehingga malaikat tidak perlu repot mencatat.  

Lebih berbahaya 

Saya merasa buku pertama ini lebih liar dan imajinatif daripada buku kedua. Misalnya, ada percakapan antar dua malaikat, atau imajinasi saat orang yang sudah menyiapkan diri berbahasa arab ternyata di akhirat ditanya pakai bahasa daerah oleh malaikat, atau adegan senggama antara guru spritual dan murid laki-lakinya. Sangat uwow sekali bukan?

Juga cerpen "Bukan Perawan Maria" yang berkisah tentang seorang perempuan biasa yang suka pergaulan bebas (mirip pelacur) yang tiba-tiba hamil padahal ia tidak sedang berhubungan seks dalam waktu dekat. Semua orang ragu padanya dan tidak sudi menyandingkan ia dengan Maria. Menurut Feby, karya ini banyak menimbulkan murka sebagian orang, sehingga berdampak pada luka kreatif yang panjang. 

Masih menunggu versi novel

Membaca Bukan Perawan Maria terasa tidak se-excited saat membaca karyanya dengan napas yang sama. Mungkin, meski tulisannya bagus, tapi jadi bosan dan predictable? Sebagai pembaca, saya berharap karya Feby selanjutnya berupa novel dengan satu tema saja tetapi mendalam. Saya pikir ini bisa jadi lebih greget bacanya.

Komentar

Postingan Populer