Saat Eka Kurniawan bilang akan menerbitkan karya, saya senang sekali. Ia memang penulis yang karyanya ditunggu-tunggu oleh saya. Berdasarkan tweet-nya, Eka bilang karyanya ini berupa cerpen yang panjang. Bhaik, saya siap beli.
 |
Satu paket berupa amplop, buku, dan pembatas buku. |
Paket buku datang di hari Sabtu. Saya senang dong karena bisa baca buku di akhir pekan. Namun saat meliaht paketnya, saya agak curiga. Kok bungkusnya tipis dan kecil? Apa jangan-jangan saya ditipu? Saat dibuka, bukunya asli, ada tanda tangan penulisnya juga. Jadi, bukunya memang kecil. Huhu.
Isinya sekitar 5.000 kata. Jadi, ini adalah karya yang memang nanggung untuk dipublikasikan di koran karena terlalu panjang. Buku ini bisa dilumat dalam waktu 30 menit saja.
Saya pikir, pasti karena faktor Eka Kurniawan, penerbit yaitu PT Gramedia Pustaka Utama, berani bereksperimen buku nanggung seperti ini. Buktinya, kuota pra pesannya udah penuh! Selain itu, buku-buku tipis ini mengingatkan pada buku-bukunya Penguine Books yang bisa dihabiskan dalam sekali duduk.
Mari kita bahas bukunya. Hati-hati spoiler ya!
Isi buku Sumur
Sampul buku Sumur dibuat oleh Umar Setiawan. Setelah baca isinya, sampulnya benar-benar menggambarkan isi buku tersebut, yaitu seorang laki-laki dan perempuan yang berdiri berhadapan dengan kaku dan canggung, lingkungan pedesaan yang gersang, dan sebuah sumur yang airnya menjadi tumpuan banyak orang.
Dikisahkan Siti dan Toyib, dua orang yang berteman sejak kecil. Pertemanan harus merenggang karena suatu hal. Hubungan semakin memburuk akibat lingkungan desa yang gersang, sehingga orang-orang desa harus mencari kerja di kota--termasuk Siti. Setelah bertahun-tahun kerja di kota, Siti membawa seorang suami yang cacat bersamanya. Cerita ditutup dengan kejadian yang tidak masuk akal, yang melibatkan suami Siti dan istri Toyib di sumur.
Pendapat saya tentang buku ini
Penjabaran Eka mengenai desa yang kering mengingatkan saya saat berkunjung ke
Wae Sano. Orang-orang harus berjalan jauh demi 1-2 jerigen air, melewati jalan berbatu, bahkan melewati jalan menanjak yang panjang. Meski Eka tidak menyebutkan di mana desanya, saya menduga ini
setting-nya di Jawa. Nama Toyib, atau dari Thayyib atau Thaba yang erat dengan nilai Islami, membuat saya berasumsi ini berasal dari daerah yang mayoritas Islam, seperti Sumatra atau Jawa. Penamaan Siti, yang dalam Bahasa Jawa artinya bumi atau tanah, menguatkan asumsi ini.
Plot ceritanya maju dan mundur. Ceritanya sedikit tragis dan realistis, yaitu kisah dua orang yang saling mencintai tapi tidak bisa bersatu. Nah, seperti yang saya sebut di atas, cerita dipotong dengan tidak masuk akal dan menimbulkan banyak tanda tanya.
Hal yang tidak masuk akal ini justru menguatkan latar belakang orang pedesaan, yaitu masih kuat dengan nilai mistis. Selain itu Eka juga menceritakan bagaimana seolah-olah kemarau panjang yang datang juga diakibatkan oleh hubungan Siti dan Toyib.
Mungkin bagi sebagian orang dan penulis, cerita cukup diberhentikan di situ. Tapi merasa sebal dan pengin sekali versi panjang dari cerita ini. Hehe.
Sebagai informasi, cerita pendek Sumur ini adalah nomine Man Booker International Prize 2016 dan peraih Prince Claus Laureate 2018. Cerita pendek ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris di antologi Tales of Two Planets dengan judul "The Well".
Buku ini hanya akan dicetak sekali. Artinya, kalau sudah habis, buku ini menjadi langka. Menurut saya, bagi kamu pecinta Eka Kurniawan, wajib buku ini sebagai koleksi. Namun buat yang hanya sekedar penasaran, bisa pinjam ke teman terdekat saja. Jangan lupa dikembalikan ya!
Komentar
Posting Komentar