Langsung ke konten utama

Unggulan

Menggali Ajaran Kebijaksanaan dalam Chadō

Siapa di sini yang suka minum teh? Di Indonesia, teh seringkali dinikmati saat menjamu tamu atau sebagai penghilang dahaga sehabis makan. Di warung nasi, pengunjung biasanya menikmati teh kental, pahit, tanpa pemanis, dan dicampur dengan bahan tertentu seperti melati atau vanila. Dok. Pribadi Di Jepang, teh mendapatkan perhatian yang khusus. Untuk meminumnya saja ada serangkaian upacara yang mengiringinya, atau biasa disebut chadō . Rangkaian upacara ini bersifat rigid, artinya sejumlah aturan yang harus dipenuhi. Misal, tamu harus memakai baju kimono, di dalam ruangan harus ada hiasan dinding (kaligrafi tulisan kanji) dan bunga, teh harus disajikan tanpa terburu-buru, dan lainnya. Segala 'keribetan' itu bukan tidak ada maksud, malah ada makna yang relevan dengan zaman modern. Itulah yang dibahas di buku Menggali Ajaran Kebijaksanaan dalam Chadō dari Syaraf Maulini. Misalnya, pakaian kimono yang membatasi ruang gerak pemakainya, mengartikan bahwa kita hidup dalam bermasyarakat

Antarkota Antarpuisi

Saya bukan pecinta buku puisi. Bagi saya, selain isinya seiprit, puisi kadang sulit dinikmati. Apalagi bagi saya, baca buku itu bentuk hiburan, bukan untuk mikir lagi. Selain itu, puisi itu seperti kutipan, enak dinikmati sepotong saja dan hanya bergema di hati jika kondisi sedang merasakan hal yang sama.


Antarkota Antarpuisi dari Beni Satryo, Penerbit Banana

Meski saya kurang suka puisi, saya beli buku di atas. Penyebabnya tak lain adalah karena penulis, Beni Satryo, adalah teman saya. Pastinya saya dukung karya teman. Selain itu, saya pernah baca petikan-petikan puisi Beni, dan saya suka.

Antarkota Antarpuisi adalah kumpulan puisinya yang kedua. Di buku ini terdapat 40 puisi, tebalnya sekitar 94 halaman. Bukunya sederhana, tidak ada pengantar, tidak ada testimoni dari penulis puisi lain, dan tidak ada deskripsi penulis yang berlebihan. Hm, mengingatkan saya pada sosok Beni yang orangnya memang enggan ribet.

Bisa dilihat dari judul bukunya, Beni seringkali bermain kata plesetan dan menggunakan kata-kata seperti "krucuk-krucuk", "ngjulungup" atau "gujes-gujes". Jadi, banyak hal-hal lucu di dalam puisinya. Ia juga banyak terinspirasi dari benda-benda yang ada di sekelilingnya seperti es dawet, air kobokan, warteg, atau motor Astrea. Hal yang menarik adalah ia juga terinspirasi oleh benda-benda yang kadang dilihat selewat atau dianggap tidak penting, seperti daki bercampur balsam di uang koin.


Masuk angin

Ketika kau masuk angin, 

kau akan menemukan diriku

menjelma gumpalan daki bercampur balsam di ujung uang koinmu.


Dan pada jeda-jeda sendawa

kita akan membangun lintasan-lintasan senja

pada cinta kita yang mulai renta." (Masuk Angin, hal 76)


Puisi-puisi Beni umumnya bertema kehidupan seperti cinta, keluarga, atau diri yang kesepian. Puisi-puisinya juga menggunakan kata-kata yang sederhana, mudah dinikmati. Meski demikian, kadang ada saja puisi yang harus dibaca ulang oleh saya, atau bikin saya mikir "ini maksudnya apa ya?"

Di buku ini, banyak puisi yang saya suka seperti Siomay, Lemari, atau Mokah. Hal yang paling saya suka dari karya Beni adalah ia bisa menulis puisi pendek tapi kesannya sangat mendalam. Seperti di bawah ini:


Bertamu ke kuburan ayah

Aku bertamu ke kuburan ayah.

Memohon doa restu.


"Kemarin kemisikinan datang ke rumah," kataku.


"Ia melamar ibu." (hal 6) 


Oh ya, buku puisi pertama Beni yaitu Pendidikan Jasmani dan Kesunyian pernah menjadi masuk Kusala Sastra Khatulistiwa Nominasi Puisi 2016. Puisi-puisinya juga digemari oleh orang-orang ternama seperti Eka Kurniawan, Dian Sastro, dan Najwa Shihab yang bisa dilihat di Instagram-nya.

Hehe, hebat kau, Ben!

Buat teman-teman yang mau cari buku puisi yang manis, bikin tertawa, bikin meringis, dan tidak perlu energi ekstra dalam memahaminya, saya rekomendasikan beli buku Antarakota Antarpuisi ya. Selamat menikmati!

Komentar

Postingan Populer