Langsung ke konten utama

Unggulan

Menggali Ajaran Kebijaksanaan dalam Chadō

Siapa di sini yang suka minum teh? Di Indonesia, teh seringkali dinikmati saat menjamu tamu atau sebagai penghilang dahaga sehabis makan. Di warung nasi, pengunjung biasanya menikmati teh kental, pahit, tanpa pemanis, dan dicampur dengan bahan tertentu seperti melati atau vanila. Dok. Pribadi Di Jepang, teh mendapatkan perhatian yang khusus. Untuk meminumnya saja ada serangkaian upacara yang mengiringinya, atau biasa disebut chadō . Rangkaian upacara ini bersifat rigid, artinya sejumlah aturan yang harus dipenuhi. Misal, tamu harus memakai baju kimono, di dalam ruangan harus ada hiasan dinding (kaligrafi tulisan kanji) dan bunga, teh harus disajikan tanpa terburu-buru, dan lainnya. Segala 'keribetan' itu bukan tidak ada maksud, malah ada makna yang relevan dengan zaman modern. Itulah yang dibahas di buku Menggali Ajaran Kebijaksanaan dalam Chadō dari Syaraf Maulini. Misalnya, pakaian kimono yang membatasi ruang gerak pemakainya, mengartikan bahwa kita hidup dalam bermasyarakat

Tempat Paling Liar di Muka Bumi

 

Ingat puisi, ingat kawan saya, Theoresia Rumthe. Saya kenal Theo, panggilan akrabnya, saat di Reading Lights Writer's Circle. Karya-karyanya itu sangat menggambarkan sosok Theo: manis dan puitis. Saya juga sering mengunjungi blognya yaitu Perempuan Sore. Bagi saya, puisi-puisinya sangat mudah dinikmati tanpa perlu mengerenyitkan dahi

Dari dulu, puisi-puisi Theo selalu menyuarakan napas yang sama: mencintai seseorang dengan berani, tanpa malu, tanpa ampun, dan liar. Di buku-nya, "Tempat Paling Liar di Muka Bumi", Theo menulis bersama kekasihnya yaitu Weslly Johannes.  Sebelum melihat karya fisiknya, saya suka melihat mereka bersahut-sahutan puisi di media sosial.

Kedua puisi mereka tidak luput dari keindahan Maluku, tempat tinggal mereka. Tidak banyak, tetapi beberapa kali ada unsur pulau, Yamdena, dan laut yang ada di puisinya. Terbayang enggak sih mencintai seseorang di tempat nan indah seperti itu? Puitis sekali pastinya.

Buku puisinya diilustrasikan oleh Lala Bohang yang mampu menggambarkan isi puisinya, seperti gambar di atas. Belum lagi kata-kata dari Wesley yang menurut saya singkat tapi ngena sekali. Dan, punggung. Ya, punggung. Tampaknya punggung bermakna sekali buat mereka karena ini berkali-kali muncul. 

Bagi saya, memeluk orang dari belakang itu menyentuh sekali artinya. Kita ingin melindungi mereka, memberi rasa nyaman, menyampaikan rindu, tidak melulu bersifat erotis. Namun semata-mata kita ingin menunjukkan kasih sayang.


Saya jarang sekali bisa menikmati puisi, apalagi yang penuh metafora sampai-sampai tidak mengerti. Saya juga tidak mengerti teknik-teknik membuat puisi. Bagi saya membaca puisi itu seperti melihat karya seni. Kalau kesannya sampai di hati, barulah karya tersebut bermakna buat saya.

Dan karya Theo dan Weslly inilah sampai di hati saya. Puisi-puisinya sangat mudah dinikmati. Selain itu, mereka bisa membuat pembacanya untuk mencintai seseorang dengan lepas dan bisa bermain-main di tempat liar, seperti matanya ... atau pungungnya.

Komentar

Postingan Populer