Langsung ke konten utama

Unggulan

Menggali Ajaran Kebijaksanaan dalam Chadō

Siapa di sini yang suka minum teh? Di Indonesia, teh seringkali dinikmati saat menjamu tamu atau sebagai penghilang dahaga sehabis makan. Di warung nasi, pengunjung biasanya menikmati teh kental, pahit, tanpa pemanis, dan dicampur dengan bahan tertentu seperti melati atau vanila. Dok. Pribadi Di Jepang, teh mendapatkan perhatian yang khusus. Untuk meminumnya saja ada serangkaian upacara yang mengiringinya, atau biasa disebut chadō . Rangkaian upacara ini bersifat rigid, artinya sejumlah aturan yang harus dipenuhi. Misal, tamu harus memakai baju kimono, di dalam ruangan harus ada hiasan dinding (kaligrafi tulisan kanji) dan bunga, teh harus disajikan tanpa terburu-buru, dan lainnya. Segala 'keribetan' itu bukan tidak ada maksud, malah ada makna yang relevan dengan zaman modern. Itulah yang dibahas di buku Menggali Ajaran Kebijaksanaan dalam Chadō dari Syaraf Maulini. Misalnya, pakaian kimono yang membatasi ruang gerak pemakainya, mengartikan bahwa kita hidup dalam bermasyarakat

Jalan Panjang untuk Pulang

Agustinus Wibowo adalah seorang penulis yang spesial di hati, karena dia menginspirasi saya untuk mengambil jalur non-fiksi. Ketika SMA dan kuliah, saya lebih banyak menulis cerita pendek. Namun setelah baca National Geographic, Andreas Harsono, dan Agustinus Wibowo, saya ingin jadi penulis catatan perjalanan.


Singkat cerita, jadi penulis perjalanan enggak berhasil lama karena modalnya lebih besar daripada penghasilannya. Hehe. Ya sudah, jadi penulis lifestyle saja, toh sempat dapat kesempatan liputan ke luar kota.

Anyways, karya terakhir Agustinus adalah Titik Nol di 2012. Setelah menanti 8 tahun lamanya, akhirnya saya mendapatkan buku terbarunya yaitu Jalan Panjang untuk Pulang (2020) melalui sistem preorder. Buku catatan perjalanan ini memiliki tebal 461 halaman dan diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama.

Berbeda dengan buku-buku sebelumnya, karya terbaru Agustinus ini terdiri dari banyak bab dan ceritanya. Memang, Jalan Panjang untuk Pulang merupakan sekumpulan tulisan persinggahan. Setiap cerita bobotnya bervariasi, ada yang panjang dan mendalam, serta ada yang pendek dan hanya selintas saja.

Tulisan yang paling berkesan

Dari sekian banyak cerita, tentunya ada beberapa cerita yang paling berkesan. Pertama, cerita berjudul "Menapak Jejak Shaman Mongolia". Agustinus berkisah tentang suku Mongolia yang percaya dan menghargai keberadaan roh. Agar bisa diterima oleh komunitas shaman, Agustinus dan temannya membawa vodka. Ternyata vodka adalah minuman wajib yang bisa membantu mereka diterima oleh penghuni hutan taiga.

Jangan membayangkan taiga adalah tempat terpencil. Semenjak listrik masuk, modernitas ada di sana. Bahkan kini orang-orang bisa mengontak langsung para shaman melalui nomor ponsel. Banyak shamanisme sudah jadi bisnis. Para turis bisa konsultasi dengan memberikan imbalan dolar atau tugrik. Hmm, tertarik mencoba?

Kedua, cerita yang berkesan adalah "Ketika Era Prasejarah Bertemu Globalisasi". Jika biasanya Agustinus membahas negara-negara di Timur Tengah, di buku ini ada bahasan mengenai Papua Nugini. Di dalamnya diceritakan tentang orang Papua Nugini yang tidak jadi tuan rumah di negaranya sendiri, negeri kaya tapi penduduknya miskin, tingkat kriminal yang tinggi, kesukuan yang tinggi dan teritori tanah adat yang tidak boleh dilanggar.

Cerita ini mengingatkan saya pada buku Ufuk Timur dari Christopel Paino. Buku ini bercerita tentang tetangganya Papua Nugini, yaitu Papua. Ruh bukunya sama yaitu tentang kesenjangan sosial dan kemiskinan. Membaca karya Agustinus dan Christopel sama-sama membuat sedih!

Cerita berkesan terakhir tentu bercerita tentang identitas Agustinus Wibowo. Tema identitas memang selalu jadi fokus dari penulis kelahiran Lumajang ini. Di cerita berjudul "Seorang Pencari dan Napasnya", Agustinus menceritakan bagaimana ia mengenali dirinya melalui meditasi. Ternyata, Agustinus pernah mengalami depresi dan sempat ingin bunuh diri. Untuk melewati tersebut, ia sengaja bermeditasi di Vipassana di Bogor.

Agustinus bercerita panjang lebar mengenai pelajaran napas yang ia dapatkan. Ia harus menutup mata selama berjam-jam, memusatkan pikiran pada napas saja, dan merasakan sensasi-sensasi yang terjadi pada tubuh: getaran halus di bibir, rasa gatal di hidung, merasakan tubuh dari ujung rambut hingga ujung kaki, bahkan ia bisa merasakan organ-organ di dalam tubuhnya.

Ada sebuah kalimat menarik yang ditulis di buku ini. 

"Ini hal yang paling menyeramkan dalam meditasi. Kita manusia takut pada kebosanan. Ketika kamu bosan, kamu cuma bisa berhadapan dengan pikiranmu. Dan pikiranmu itu seperti orang gila. Pada satu waktu dia tertawa tetapi kemudian langsung menangis. Pada satu waktu dia membawamu pada kenangan bahagia, tetapi kemudian langsung meremuk dirimu dalam kesengsaraan. Kadang-kadang dia memberimu harapan, tetapi segera setelah itu, keputusasaan dan ketakutan. Betapa mengerikan pikiranmu itu!" (hal 394-395)

Setuju banget dengan yang ditulis di Agustinus. Makanya tidak heran, orang-orang selalu menyibukkan pikiran dengan lihat sosial media, mengobrol, ketemu teman, atau ghibah. Seperti yang ditulis oleh Agustinus, "Apa pun kita lakukan untuk menghindari kesepian. Memalingkan diri dari penderitaan. Memalingkan diri dari ruwetnya pikiran sendiri." (hal 395)

Buku ditutup dengan cerita berjudul "Laut" yang menurut saya sangat sentimentil. Jika di buku sebelumnya penulis bercerita tentang hubungan ia dengan ibunya, maka di buku ini Agustinus bercerita tentang hubungan dengan ayahnya. Agustinus bercerita tentang identitas Cina yang ia miliki. Ia bercerita tentang segala diskriminasi yang dihadapi seperti diusir untuk pulang ke Tiongkok oleh teman-temannya. Padahal, saat ia berkesempatan ke Beijing, Agustinus tidak merasa ia pulang ke rumah. Malah ia tetap dianggap orang asing. 

Ketika berbicara Cina, Agustinus akan mengingat tentang minoritas dan fantasi akan negeri leluhur yang begitu sempurna. Berbeda dengan ayahnya yang menerima realitas dirinya dan berdamai dengan identitas-identitas yang tampaknya saling bertentangan. "Indonesia telah menerimanya sebagai Cina, dan dia menerima Indonesia sebagai rumahnya." (hal 459)

Agustinus, lagi dan lagi, menyampaikan bahwa perjalanan tidak melulu pindah kota dan negara, tetapi juga perjalanan kepada diri. Ia juga tidak sungkan membuka dirinya pada pembaca. Menurut saya, inilah yang membuat pembaca bisa relate secara emosional dengan buku-bukunya Agustinus.

Apakah kekurangan dari buku ini?

Terkadang buku ini terasa seperti gado-gado alias bercampur. Tulisan yang pernah terbit di 5-10 tahun lalu bercampur dengan tulisan di 2020. Selain itu, ada yang hanya dijelaskan singkat dan ada yang mendalam (terkadang saya memilih tulisan yang mendalam saja daripada peristiwa yang sepotong-sepotong).

Apakah gado-gado itu buruk? Ya, kalau kamu tidak suka gado-gado. Bagi orang yang suka dengan gado-gado, buku ini tidak masalah kok! Apalagi peristiwa yang terjadi 5-10 tahun lalu itu masih relate dengan sekarang. 

Kekurangan lainnya paling foto-fotonya dicetak dalam kertas hitam putih, bukan berwarna dan sehalaman penuh seperti dulu. Hehe. Mungkin harga cetak akan jadi mahal ya, tapi kalau penggemar pasti enggak akan mempermasalahkan. Apalagi foto-fotonya Agustinus bagus sekali, jadi agak disayangkan.

Kesimpulan buku perjalanan ini ...

Membaca Jalan Panjang untuk Pulang seperti membaca buku hubungan internasional, sosiologi, dan antropologi. Buku catatan perjalanan ini tidak hanya menawarkan indahnya dunia saja, tetapi sangat penuh ilmu dan membuka mata pembacanya untuk melihat apa yang terjadi di belahan dunia sana. Seperti biasa, Agustinus dapat membawa kita berpetualang jauh, meski dari rumah saja.

Komentar

Postingan Populer