Ufuk Timur Langsung ke konten utama

Unggulan

The Joy Luck Club

Dok. Pribadi Belakangan ini, saya lagi keranjingan membaca karya-karya Amy Tan . Rasanya ada sesuatu yang begitu kuat dalam cara dia bercerita, terutama tentang hubungan keluarga dan budaya. Jadi, ketika tahu kalau novel pertamanya, The Joy Luck Club (1989), jadi finalis untuk berbagai penghargaan bergengsi seperti National Book Award dan National Book Critics Circle Award, saya langsung penasaran ingin membacanya. Novel ini mengisahkan kehidupan empat ibu imigran Tionghoa-Amerika yang tinggal di San Francisco dan membentuk kelompok bermain mahjong bernama The Joy Luck Club . Lewat kelompok ini, cerita hidup mereka—dan anak-anak perempuan mereka yang lahir dan dibesarkan di Amerika—mulai terungkap. Kisah dibuka dengan meninggalnya Suyuan Woo, salah satu anggota kelompok mahjong. Anaknya, Jing-mei Woo, harus menggantikan posisi ibunya dalam kelompok. Tapi ada satu kebenaran mengejutkan yang terungkap di tengah cerita: Suyuan ternyata memiliki dua anak lain dari pernikahan sebelumnya ya...

Ufuk Timur

Penerbit Indie Book Corner, 2019.


Semula saya menyangka bahwa buku "Ufuk Timur" (2019) karya Christopel Paino adalah sebuah novel. Ternyata dugaan saya salah. Buku ini merupakan catatan perjalanan (catper) Chritopel saat ia sedang meliput di Papua untuk Mongabay Indonesia. Wah, menarik juga, karena saya sudah lama tidak baca catper. Buku catper terakhir yang saya baca adalah "Selimut Debu" dan "Garis Batas" karya Agustinus Wibowo dan "Meraba Indonesia" karya Ahmad Yunus.

Buku ini dibagi menjadi 7 bab. Bab-bab tersebut bercerita mengenai Christopel yang ditugaskan untuk meliput selama satu tahun di Papua. Di sana ia bertemu dengan tokoh-tokoh pro kemerdekaan Papua, bertemu dengan para masyarakat yang merasa tanahnya diambil oleh perusahaan-perusahaan yang mengeruk kekayaan alam, kekerasan yang dilakukan oleh militer, serta rasialisme yang dilakukan oleh warga pendatang kepada warga asli Papua.

Cerita yang paling menyentuh hati saya adalah ketika Christopel bercerita tentang Digoel, sebuah kawasan yang pernah dijadikan tempat pengasingan Bung Hatta. Dulu, Digoel adalah wilayah yang ditakuti karena hutan menjadi tembok alami yang membuat para tahanan tidak bisa kabur karena mereka pasti mati di sana. Sekarang, Digoel bukan kawasan yang asing. Banyak kapal-kapal perusahaan Korea yang datang dan mengambil kekayaan alam di sana.

Cerita lainnya yang berkesan adalah tragedi Biak Berdarah. Peristiwa ini ditandai saat seorang aktivis Filep Karma merancang aksi damai dan membentangkan bendera Bintang Kejora di Tower Air untuk menuntut kemerdekaan Papua dari Indonesia. Bukannya damai, tetapi malah terjadi pertumpahan darah karena masyarakat ditembak oleh tentara.

Tak hanya bercerita tentang ketidakadilan di Papua, Christopel juga bercerita bahwa ia menderita malaria setelah mendaki Gunung Cycloop dan ia kehilangan ibunya yang tinggal di Gorontalo. Christopel menceritakan duka yang ia alami, serta kenangan-kenangan bersama ibunya. 

Buku yang membuka mata

Jujur saja, saya jarang mengikuti berita tentang Papua. Terakhir, paling yang saya ketahui adalah berita yang fenomenal di televisi, yaitu pengepungan asrama mahasiswa Papua di Surabaya. Setelah baca buku ini, ternyata banyak kekerasan dan ketidakadilan yang dialami oleh warga Papua yang tidak ditampilkan di televisi. Dan dari buku ini juga saya baru tahu bahwa wartawan asing dilarang meliput di Papua. Papua seolah-olah dirahasiakan. 

Sedikit cerita, saya pernah ikut sebuah perusahaan yang akan mengebor sumber energi panas bumi di salah satu daerah di Flores. Tujuan saat itu adalah meliput untuk buku CSR perusahaan. Di sana, saya tinggal di homestay warga dan tahu ada banyak penolakan untuk melakukan pengeboran. Alasannya adalah karena ini adalah tanah adat, mereka takut terjadi kebocoran seperti di Lapindo, dan mereka akan kehilangan mata pencaharian (mereka adalah petani yang sangat bergantung pada hasil hutan).

Di satu sisi, saya agak heran juga dengan penolakan mereka. Bukankah enak jika energi panas buminya dipakai untuk membuat listrik di sana? Listriknya bisa menerangi satu Pulau Flores. FYI, listrik di desa yang saya tinggali itu hanya nyala di malam hari saja. 

Jika ada listrik, semua akan berjalan. Bukan hanya perkara nonton televisi saja, tetapi puskemas jadi bisa menyimpan obat-obatan yang dibutuhkan oleh masyarakat, terutama obat yang harus disimpan di suhu dingin. Selain itu, mereka bisa memaksimalkan homestay yang telah ada, dan pariwisata akan naik. 

Tapi di sisi lain, saya jadi mengerti juga mengapa penolakan terjadi. Mungkin, seperti Papua, manfaat yang mereka terima tidak sebanding dengan kehidupan yang sudah dikorbankan untuk perusahaan. Atau yang paling klise, uang ganti ruginya tidak sesuai dengan yang sudah ditetapkan. 

Di buku "Ufuk Timur", Christopel juga bercerita tentang masyarakat hanya menerima sedikit uang dari yang seharusnya. Warga juga tidak memegang surat perjanjian karena diambil oleh perusahaan. Program CSR yang dijanjikan oleh perusahaan, seperti mendapatkan beasiswa sekolah, juga diragukan berjalan karena banyak anak-anak yang putus sekolah dan jadi mabuk-mabukan.

Perusahaan-perusahaan yang ada di sana ternyata tidak sedikit, seperti yang ditulis oleh Christopel:

"Selama ini, bagi sebagian besar orang Indonesia barangkali hanya mengenal PT Freeport sebagai perusahaan raksasa yang bercokol di Papua. Tak banyak yang tahu bahwa perusahaan-perusahaan tumbuh subur di hampir semua tempat dari Sorong sampai Merauke. Perusahaan-perusahaan tersebut tumbuh subur menjadi monster yang berwajah sinterklas: mulai dari perusahaan minyak dan gas hingga perusahaan perkebunan yang membabat sumber-sumber kehidupan penduduk asli Papua." (hal 69)

Hal lain yang membuat saya miris adalah setelah membaca bahwa kebijakan MIFEE di Papua yang menjadi penyelamat bagi ancaman krisis pangan global dan nasional, ternyata membuat warganya sendiri kehilangan sumber protein mereka.

"... di malam itu saya melihat seorang anak Papua di Kampung Bupul kehilangan sumber protein mereka. MIFEE telah mengubah sagu menjadi sawit. Pun kangguru, rusa, atau babi hutan yang semakin susah untuk diburu lagi. Tanpa disadari, lidah mereka justru dijajah nasi dan mi instan." (hal 139)

Tulisan Christopel ini sangat mengalir. Tidak terasa buku setebal 200an halaman ini dibaca hanya dalam waku 6 jam saja. Dan saya suka keputusan Christopel memasukkan dirinya sebagai penulis ke dalam cerita, yaitu cerita tentang malaria dan ibu di bagian akhir buku. Ini membuat buku ini lebih personal dan dekat dengan pembaca, karena terlihat ia agak menjaga jarak di awal-awal cerita.

Sungguh buku yang membuka mata! Buku ini saya rekomendasikan kepada siapa saja yang ingin mengetahui lebih jauh tentang Papua.

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer