Langsung ke konten utama

Unggulan

Menggali Ajaran Kebijaksanaan dalam Chadō

Siapa di sini yang suka minum teh? Di Indonesia, teh seringkali dinikmati saat menjamu tamu atau sebagai penghilang dahaga sehabis makan. Di warung nasi, pengunjung biasanya menikmati teh kental, pahit, tanpa pemanis, dan dicampur dengan bahan tertentu seperti melati atau vanila. Dok. Pribadi Di Jepang, teh mendapatkan perhatian yang khusus. Untuk meminumnya saja ada serangkaian upacara yang mengiringinya, atau biasa disebut chadō . Rangkaian upacara ini bersifat rigid, artinya sejumlah aturan yang harus dipenuhi. Misal, tamu harus memakai baju kimono, di dalam ruangan harus ada hiasan dinding (kaligrafi tulisan kanji) dan bunga, teh harus disajikan tanpa terburu-buru, dan lainnya. Segala 'keribetan' itu bukan tidak ada maksud, malah ada makna yang relevan dengan zaman modern. Itulah yang dibahas di buku Menggali Ajaran Kebijaksanaan dalam Chadō dari Syaraf Maulini. Misalnya, pakaian kimono yang membatasi ruang gerak pemakainya, mengartikan bahwa kita hidup dalam bermasyarakat

Orang-orang Oetimu

 

Penerbit Marjin Kiri, tahun 2019.

Setelah dua tahun lebih enggak baca buku (kebanyakan menghabiskan waktu luang dengan lihat media sosial), akhirnya saya memutuskan untuk baca novel fiksi lagi. Ini tercetus karena orang-orang kantor, yang memang kantor media dan dekat dengan literatur, bahas penulis-penulis Indonesia. Selain itu, gara-gara dengerin podcast Coming Home with Leila Chudori.

Di salah satu episodenya, ada Dian Sastro sebagai bintang tamunya. Dia bahas buku-buku yang dia suka, termasuk Orang-orang Oetimu. Wah, jadi penasaran. Apalagi saya pengen baca buku dari penulis-penulis yang namanya baru saya dengar. Kemudian saya bacalah buku ini...

Hasilnya, suka banget! Bener kata Dian, ini buku bagus. Penulisnya, Felix K. Nesi, bisa menjaga hook dari awal hingga akhir novel sehingga saya bisa menyelesaikan bacanya dalam waktu dua hari saja. Selain itu, cerita di akhir bab berhasil membuat penasaran untuk lanjut ke bab selanjutnya.

Novel Orang-orang Oetimu dibuka dengan kisah para pembunuh yang akan berhadapan dengan Sersan Ipi dan Martin Kabiti di tahun 1998. Kemudian penulis menceritakan latar belakang kelahiran Sersan Ipi dari tahun 1974, mengenalkan tokoh-tokoh yang bersinggungan dengan Sersan Ipi di Oetimu beserta latar belakangnya. Setelah cerita sudah meluas, di akhir novel, penulis melanjutkan ke adegan di bab pertama.

Semua tokoh berada di latar belakang dengan kejadian-kejadian wilayah Indonesia, seperti saat Indonesia masih banyak suku pedalaman dan peraturan masyarakat mengikuti suku tersebut, saat penjajah datang dan mencoba menghapus budaya suku-suku itu, saat merdeka dan pemerintah Indonesia "menjajah" Nusa Tenggara Timur, serta tuduhan-tuduhan komunisme pada orang-orang yang tidak pro pemerintah.

Selain itu, Felix juga bercerita tentang kisah-kisah yang marak seperti dekatnya masyarakat dengan gereja, sopi (minuman keras tradisional dari NTT), dan seks. Penulis juga bercerita betapa masyarakat resah dengan tentara. Misalnya, tokoh Maria bercerita tentang betapa bencinya ia terhadap tentara karena anak dan suami harus kena tabrak lari tergilas truk tentara, lalu para tentara beralasan mereka sedang berjuang demi pertahanan bangsa dan negara. Sayangnya, masyarakat Oetimu tidak ada yang berani menyuarakan hal ini.

Felix juga berani untuk mengemukakan kalimat-kalimat cerdas. Misalnya tokoh Linus, seorang tokoh yang terobsesi menjadi membela negara, harus gagal berkali-kali masuk tentara karena tuli. Di kampus, ia juga gagal masuk Resimen Mahasiswa (Menwa) karena tidak pintar. Felix menulis seperti ini,

"Tentu saja kebodohan tidak dipermasalahkan di tes-tes tentara sebelumnya. Saat itu, angkatan bersenjata lebih butuh orang yang berani daripada orang yang cerdas; orang yang tidak banyak berpikir ketika berdiri di garis depan untuk menembaki musuh. Tak apa sedikit bodoh, yang penting mau menembaki musuh negara. Namun Resimen Mahasiswa mempertimbangkan masalah kebodohan, sebab prajurit Menwa bertugas di kampus dan akan sering berhadapan dengan mahasiswa pendemo. Menghadapi mahasiswa yang suka baca buku, anggota Menwa haruslah sedikit cerdas." (hal 135)

"Tak ada seorang pun mahasiswa yang curiga bahwa Linus adalah seorang informan tentara. Informan tentara biasanya adalah seorang yang sedikit cerdas, sedangkan mereka telah mengenal Linus sebagai anak yang bodoh. Memang tidak ada tentara yang tidak bodoh, sebab mereka enggan membaca dan suka membakar buku-buku, ..." (hal 137)

Saya tersenyum membaca paragraf ini. Setahu saya, buku-buku yang berbahaya memang menjadi musuh pemerintah di tahun 1990an. Buku-buku yang "berbau komunis" sering dirazia, padahal itu adalah buku sejarah. Bahkan razia buku ini masih terjadi di tahun 2019

Hal menarik yang ingin saya sorot adalah kemampuan Felix untuk menulis banyak tokoh, tapi cerita masing-masing tokoh sangat kuat, dan ia mampu menghubungkan tokoh-tokoh tersebut tanpa patah. Seperti judulnya, Felix bercerita tentang orang-orang di Oetimu. Ia tidak menjagokan satu tokoh saja. Selain itu, plot ceritanya juga maju mundur, tetapi terasa mengalir.

Buku ini saya rekomendasikan untuk dibaca. Meski ada bahasan mengenai tentara, rezim pemerintah, atau komunisme, buku ini tidak membosankan, karena Felix mampu memasukkan tokoh ke dalam buku dengan berbagai emosi, sehingga pembaca bisa merasa ikut senang, sedih, gemas, hingga nafsu yang memburu.

Komentar

Postingan Populer