Langsung ke konten utama

Unggulan

Menggali Ajaran Kebijaksanaan dalam Chadō

Siapa di sini yang suka minum teh? Di Indonesia, teh seringkali dinikmati saat menjamu tamu atau sebagai penghilang dahaga sehabis makan. Di warung nasi, pengunjung biasanya menikmati teh kental, pahit, tanpa pemanis, dan dicampur dengan bahan tertentu seperti melati atau vanila. Dok. Pribadi Di Jepang, teh mendapatkan perhatian yang khusus. Untuk meminumnya saja ada serangkaian upacara yang mengiringinya, atau biasa disebut chadō . Rangkaian upacara ini bersifat rigid, artinya sejumlah aturan yang harus dipenuhi. Misal, tamu harus memakai baju kimono, di dalam ruangan harus ada hiasan dinding (kaligrafi tulisan kanji) dan bunga, teh harus disajikan tanpa terburu-buru, dan lainnya. Segala 'keribetan' itu bukan tidak ada maksud, malah ada makna yang relevan dengan zaman modern. Itulah yang dibahas di buku Menggali Ajaran Kebijaksanaan dalam Chadō dari Syaraf Maulini. Misalnya, pakaian kimono yang membatasi ruang gerak pemakainya, mengartikan bahwa kita hidup dalam bermasyarakat

Semua Untuk Hindia

Selamat Hari Kemerdekaan! Ulasan buku kali ini sengaja saya unggah saat 17 Agustus, karena tema dari buku ini adalah sejarah Indonesia. Tapi, tenang, ini bukan buku pelajaran yang membosankan kok. Hihi. Ini buku kumpulan cerpen fiksi sejarah yang pernah menang penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa di 2014 dan 2019. Wah, penasaran dong?

Kedua buku ini adalah terbitan KPG.

Kali ini saya akan mengulas dua buku, tapi digabung aja ya. Jadi, buku berjudul "Semua Untuk Hindia" dan "Teh dan Pengkhianat" adalah karya dari Iksaka Banu, sastrawan kelahiran Yogyakarta dan lulusan desain grafis ITB. Kedua kumpulan cerpen ini memiliki tema yang sama, yaitu sejarah kolonialisme yang diramu dengan menarik.

Pertama, buku "Semua Untuk Hindia" (2014) terdiri dari 13 cerpen. Dari semua cerpen tersebut, saya paling suka cerpen Semua Untuk Hindia. Isinya bercerita tentang seorang wartawan Belanda yang merupakan sahabat kecil dari seorang gadis di Bali. Suatu saat, ia harus pergi ke pulau tersebut bersama pasukan Belanda untuk melumpuhkan Bali. Di sana ia melihat orang berbondong-bondong bukan untuk melarikan diri, tetapi malah mendekati pasukan.

Cerita ini terinspirasi dari Puputan pada 20 September 1906. Peristiwa ini ditandai dengan sebagian besar wanita yang melempar uang kepeng atau perhiasan dengan sengaja sebagai tanda pembayaran serdadu Belanda yang bersedia mencabut nyawa mereka. Jadi, ini semacam ritual bunuh diri massal daripada menyerah kepada penjajah. Saat baca ini, saya merasa sedih sekali.

Sedangkan dari 13 cerpen yang ada di buku "Teh dan Pengkhianat" (2019), kesukaan saya adalah Belenggu Emas. Cerpen ini berkisah tentang Cornelia, seorang wanita Belanda, sedang melakukan petulangan liar ke Padang bersama istri dari seorang Residen Bengkoelen. Di Padang, Cornelia tersebut akan bertemu dengan seorang tokoh yang membuat gempar banyak pejabat Belanda di seantero Hindia karena pemikiran-pemikirannya. Tokoh tersebut adalah ... Roehanna Koeddoes!

Mengapa saya menyukai karya Iksaka Banu?

Sejujurnya, banyak sekali cerpen yang saya sukai dari kedua buku tersebut. Iksaka mampu membuat menghadirkan karya fiksi sejarah ini terasa benar-benar terjadi. Misalnya, di cerpen Penunjuk Jalan, Iksaka menulis tentang kehidupan Untung Suropati. Cerpen ini terinspirasi dari lukisan karya Jan Jacob Coeman (1632-1676) yang menampilkan Keluarga Cnoll dan Untung Suropati membawa payung di belakang keluarga tersebut.

Iksaka tidak bercerita dari sudut pandang Untung Suropati. Ia bercerita dari tokoh dokter Belanda yang mengalami kecelakaan di tengah hutan yang penuh penyamun. Namun dokter itu ditolong oleh seorang pria yang tinggal tidak jauh dari situ. Pria tersebut juga didampingi oleh orang wanita perkasa. Singkat cerita, sang dokter sampai ke Batavia dan bertemu temannya. Di rumah temannya, ia melihat sebuah lukisan Keluarga Cnoll dan ada sosok pria yang telah menolongnya. Temannya berkata:

Vuijborn menyorongkan wajahnya mendekati kanvas. "Kalau benar, ajaib sekali kau bisa lolos," gumamnya. "Ia pemimpin penyamun. Pembenci Belanda. Membunuh banyak tentara sejak kabur dari Stadhuis. Buronan Kompeni nomor satu. Minggat dari rumah Cnoll karena tidak boleh menjadi pemegang payung oleh anak lelaki Pieter. Konon ia lalu dipelihara oleh Edeleer Moor, dan membuat skandal cinta dengan Suzanna, anak gadis Moor." (hal 128) 

Mungkin fakta sejarah di cerita ini adalah bagian Untung Soerapati saat bersama Keluarga Cnoll. Selain itu, sosok wanita perkasa di cerita adalah Raden Gusik, perempuan yang bercerai dari Pangeran Purbaya dan menikah dengan Untung Suropati. Namun adegan dan dialog selama di hutan dan bertemu dengan sosok dokter mesti adalah fiksi. Iksaka bisa membangun suasana dan membuat pembaca seolah-olah melihat Untung Soerapati, terutama saat ia menggambarkan sosok tersebut:

Kami sama-sama terpaku. Angin petang mengantarkan bau anyir leher menjangan yang tergorok, membuat hatiku semakin ciut. Ah, mungkin aku berlebihan. Lihat kedua pemimpin mereka. Terutama si pria bermata harimau yang sedang mengamatiku dari atas ke bawah. Ia seorang pemuda tampan berkulit terang, dengan bayang-bayang kumis di atas bibirnya yang tipis. Bibir bangsawan. Rambutnya sebahu. Menjulur liar dari himpitan ikat kepala merah bersulam benang emas. (hal 120)

Iksaka is showing, not telling. Dia tidak bilang pemuda itu dapat membuat orang segan saja, titik. Ia menjelaskan dengan mata harimau, bibir bangsawan, dan ikat kepala merah bersulam benang emas. Detail seperti ini yang membuat pembaca merasa hadir di cerita tersebut.

Selain itu, ia juga bisa membuat orang menikmati ceritanya. Kadang ada saja penulis yang banyak baca atau banyak pengetahuan, kemudian ia mencoba menaruh itu semua di buku, kesannya jadi pamer. Sepertinya Iksaka pintar menyebar fakta-fakta sejarah di ceritanya, sehingga tidak terkesan numpuk dan terasa menggurui. 

Selain itu, ia juga menceritakan fenomena-fenomena di masa kolonial. Misalnya kehidupan nyai dan gundik, kehidupan orang-orang Belanda generasi kedua atau ketiga yang lahir di Hindia dan hubungannya lebih cair dengan bumiputra, atau cerita tentang orang-orang Belanda kelahiran Hindia yang merasa tidak diakui oleh negaranya sendiri jika mereka pulang nanti.

Penulis juga kadang memasukkan istilah-istilah Belanda yang bisa jadi pelajaran untuk pembacanya seperti moentji (wanita tuna susila), sterk (kekar), atau laskar sepoy (unit militer Inggris yang beranggotakan penduduk asli; kebanyakan dari India).

Semenjak baca dua buku kumpulan cerpen ini, saya jadi ngefans sama Iksaka Banu. Apalagi kayaknya masih sedikit penulis yang mengangkat tema kolonialisme. Ia juga telah menelurkan karya terbaru bersama Kurnia Effendi yang berjudul "Pangeran dari Timur" yang bercerita mengenai pelukis Raden Saleh. Mereka menghabiskan waktu 20 tahun untuk menyelesaikan mahakarya ini.

Untuk mengetahui data tentang Raden Saleh, Iksaka menggunakan sumber koran Belanda ketika sang pelukis sekolah di negeri tersebut. Bahkan Kurnia Effendi memastikan data faktual tentang Raden Saleh dengan pergi ke Belanda. 

Sudahkah kalian membaca karya di atas? Bagaimana kesan kalian?

Komentar

Postingan Populer